8

50 16 2
                                    

Tertawamu terlalu kencang seberapa banyak masalahmu?

"Mah, pa ini nilai ulangan anjel," anjel menunjukkan nilai hasil ulangan yang ia dapat.

"80, hebatnya anak papa," lelaki itu mencium pipi anjel lembut.
"Pintar kamu nak, tigkatkan lagi ya sayang," Klara memuji Anjel begitu manis.

"Nih tambah ikannya," ujar Klara menaruhkan 1ekor ikan ke piring Anjel.

"Oh ia, Re, kamu ulangan jugakan?"

"Ia pa," ujarnya malas.

"Dapat nilai berapa kamu?" tanya papanya.
"90," jawab Rea.

bangga kami sekali aja? Minimal membuat bangga papa kamulah, kasihan dia capek capek membesarkan kamu tapi kamu ga pernah membalasnya," omel Klara.

Kedua orang tua itu terus membanding bandingkan Rea dengan Anjel.

"Ckk..." ia pun mengempaskan sendoknya ke meja makan, lalu bangkit.

"Kyak mana mau pintar, orang kerjanya melawan terus kalau di bilangi, anak kurang ajar emang kamu."

Rea melirik kesal ke arah laki laki yang memarahinya itu.

Rea pov:

"Terus aja banding bandingin aku dengan adek tiri itu, kalau di pikir pikir nilai aku juga tinggi. Bahkan kalau di bilang tinggian aku dari pada anjel, ah sudahlah," Rea perlahan memejamkan matanya.
Ia pun tertidur pulas malam itu.

Pagi harinya tiba Rea pun bangun, lalu bersiap siap ia bahkan tak minat sarapan, dan tidak berpamitan ke orang tuanya. Rea pergi begitu saja ke kampus.

Sesampainya di kampus Rea berlari lari agar cepat sampai di kelasnya, namun naasnya sewaktu di koridor ia malah menabrak seorang lelaki. Sehingga barang barang yang di bawanya itu berjatuhan.

"Aduh aduh maaf ya, aku ga sengaja," ucap Rea yang ikut menunduk menyumpuli kuas kuas berjatuhan.

"Tidak apa apa kok," ujarnya.

Ke duanya sama sekali tidak ada saling pandang pandangan hingga pada akhirnya selesai juga mereka berdua menyusuni barang barang yang jatuh.

"Loh kamu."

"Hah, kamu Merta ya?"

"Ya ampun Re, kok kamu di sini?"

"Hah? Harusnya aku yang nanyak gitu ke kamu Mer."

"Ini kampus aku, kamu sendiri?"

"Astaga, yang benar aja? Aku juga di univ ini, kamu jurusan apa Mer?"

"Aku Seni rupa, kamu sendiri?"

"Aku Sastra Imdonesia."

Baik Rea, mau pun Merta ke duanya sama sama tak menyadari hal yang tak mereka duga.

"Kenapa baru ketemu sekarang ya kita?"

"Entahlah Re, atau mungkin kita baru saling kenal, atau mungkin juga karena aku jarang masuk."

"Entahlah, oh ia kamu kok banyak bawak barang barang ada acara ya?"

"Ada."

"Ouh kalau gitu aku ganggu waktu kamu dong?"

"Engga kok, masih ada waktu satu satengah jam lagi."

"Merta boleh ga aku ngelihat gambar yang ada di canvas itu?" tanya Rea malu malu.

"Boleh, kenapa tidak, nih," Merta memberikan canvas lukisan yang sudah ia buat. Terdapat lukisan senja yang begitu indah langis bewarna jingga berpadu dengan warna merahnya. Seakan menggambarkan sebuah kehidupan bagi Rea.

"Mer, lukisan kamu bernuansa tinggi aku suka, cara penyampaian pesannya juga bagus lewat senja yang hanya bisa diam, namun mengerti segalanya."

"Re, kamu suka buat puisi ga?"
"Suka, kenapa?"

"Mau buat puisi barang dengan aku, di bawah senja nanti sore?"

Pov: Rea.

Sebelum ke datangan Merta ke pantai ia duduk, sendiri di sana menikmati sore sambil mendengarkan musik, Rea memejamkan matanya menyerapin kata demi kata dari musik yang berputar dari hp nya.
Tak terasa air mata Rea perlahan keluar menetes, begitu banyak beban yang ia tanggung, begitu banyak cerita yang ingin ia ceritakan namun ia tak punya temoat untuk bercerita.

Hingga tak berapa lama Merta datang ke tempat Rea.

"Rea," menepuk bahu Rea pelan.

"Ehh," gadis itu langsung bergegas menyapu air matanya yang turun.

"Kamu nangis?"

Rea terdiam sesaat.

"Rea, kenapa kamu nagis lagi?" tanyanya lirih.

Rea memicingkan matanya mengangguk.
"Kamu ada masalah?"

Rea tersenyum tipis.

"Rea, sudah saya bilang kalau kamu sedih, atau ada masalah kamu cerita ke saya saja, kepalamu terlalu berisikkan?" ujarnya tersenyum, yang mana sebenarnya Merta juga membutuhkan seseorang untuk di ajak bercerita, melampiaskan masalahnya, ia sendiri bahkan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi beban yang ada di pikirannya, tetapi Merta malah bersedia menjadi tempat cerita buat Rea.

"Mengapa kamu mengetahuinya?"

"Rea! Memendam semua masalahmu tanpa menceritakannya ga akan buat isi kepala kamu tenang Mer. Ga perlu khawatir," ia melirik Rea kembali, Merta melihat sah bola mata Merta berkaca kaca.

"Mer apa kamu meragukanku?" tanya Rea begitu serius.

"Meragukan apa? Entahlah, tetapi tidak ada seseorang yang bisa memendam masalahnya sendiri, setiap orang butuh teman untuk bercerita Re."

"Benar, tetapi tidak semua orang mendapatkan teman untuk bercerita, aku punya banyak cerita tetapi tidak punya rumah untuk bercerita, itulah sebabnya aku menjadi penulis."

"Re mau pulang sama?"

"Boleh, ga terasa cerita Rabu ini sudah usai di lembayang, bersama kamu lagi."

Bentala sastra Rea (TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt