7

93 62 215
                                    

Tawa tidak selamanya bahagia

"Tunggu," ujar klara.

"Apa lagi?"

"Kamu mau ke mana pergi secepat ini?"

"Bukan urasanmu, jangan pernah ngurusin orang,"jelas Rea membentak.

"Rea, saya ga akan tinggal diam, saya akan membuat kamu semangkin di benci papa kamu."

"Emang aku pernah perduli soal itu?"

"Kurang ajar, ini pasti pergaulan kamu yang terlalu bebaskan!"

"Ga ada hubungannya kali, by," Rea pun pergi tak mendengarkan ibu tirinya itu. Namun tak ada yang menyangka Klara bermain ekting menuduh Rea yang bukan- bukan kepada papanya.

"Mas, Rea itu sekarang udah mulai kurang ajar sama aku, semangkin dia berani melawan aku mas," tegas wanita itu untuk tujuan mendapat belaan.

"Anak kurang ajar, nanti papa tegur dia," namun ia hanya membilang begitu saja.

Taman:

"Hufff," Merta menarik nafas mengambil canvas yang berada di dalam tasnya, beserta kuas. Ia duduk memandangi langit yang memaparkan mega yang sangat sangat teja.
Seolah olah semesta memberikan ia masukan ide.

"Kalau aku melukis senja hari ini bagaimana ya? Bagus sepertinya untuk di pajangkan besok," batin Merta.

Ia pun memutuskan untuk melukis ke indahan senja sore itu, sebuah hadiah dari semesta yang nyata tanpa ada sedikit cacat.

Selesai Merta melukiskan senja itu, ia membuka hpnya begitu Merta melihat walpeper hp-nya ia melihat lukisannya kembali.

"Bunda, Merta akan jadi pelukiskan?" Batin Merta.

"Bunda cepat sembuh ya, Merta butuh bunda, jadi bunda harus sembuh ya," Merta menyium foto bundanya itu.
Ia pun segera kembali ke rumah sakit, menjaga bundanya.

Bentala sastra Rea (TERBIT)Where stories live. Discover now