Delapan

2.5K 190 4
                                    

Salsha keluar dari ruang guru dan menarik knop pintu hingga tertutup. Lalu, tubuhnya dia sandarkan pada pintu.

Dirinya merasa kini tulang-tulangnya seakan copot. Lemas. Tatapannya nanar. Padahal pak Setya hanya memintanya untuk membantu memperbaiki nilai temannya sendiri.

Tapi, please, Salsha bersedia menjadi tutor siapapun asal bukan laki-laki menyebalkan itu. Sungguh.

Getaran singkat dari ponselnya cukup membuatnya tersentak. Salsha meraih ponselnya yang berada di saku kemeja seragamnya. Terdapat satu pesan LINE dari sahabatnya, Steffi.

Steffi : lo lagi dimana sih? Gue nungguin lo dikantin sejak 20menit yg lalu tau ga. Gue line dr tadi gadibales. Bagus lo ya. Gue balik kelas duluan deh. Betein lo.

"Astaga,"

Salsha menepuk dahinya pelan sesaat setelah membaca pesan singkat dari sahabatnya, lalu melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.

Jam istirahat masih tersisa sekitar sepuluh menit lagi. Maka, Salsha memutuskan untuk mampir sebentar ke kantin sekolah, karena panggilan dari perutnya yang tak kunjung mereda sedari tadi.

Gadis itu berjalan menyusuri koridor yang mulai sepi. Namun langkahnya terhenti tepat di depan ruangan yang biasa di sebut gudang.

Pintunya terbuka.

Salsha mengerutkan dahinya. Aneh. Karena biasanya pintu gudang selalu dikunci.

Salsha terdiam sejenak. Mencoba untuk tidak perduli dengan ruangan itu. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti karena terdengar suara bising dari dalam. Membuat kekepoannya semakin menjadi-jadi.

Dengan langkah ragu, Salsha berjalan mendekati pintu, lalu mendongak, melihat sekeliling. Gelap.

"Halo? Ada siapa di -aw!"

Entah dorongan dari siapa, hingga membuat gadis itu jatuh tersungkur ke dalam gudang.

Dan saat itu juga pintunya tertutup dengan cepat. Salsha segera bangkit lalu menekan knop pintu, berharap dirinya masih bisa keluar. Tapi ternyata nihil. Pintunya terkunci. Ah tidak...

Lebih tepatnya... di kunci.

Salsha memutar tubuhnya, mencoba melihat keadaan di sekitarnya yang amat sangat gelap. Sesaat setelahnya, matanya ia tutup dengan rapat saat suara sirine ambulan terdengar di seantero ruangan.

Darahnya berdesir. Suara itu belum juga hilang dari pendengarannya.

Suara itu...

Ia takut mendengar suara itu. Ia benci mendengar suara itu...

"Tolong..." gadis itu masih mencoba menekan knop pintu. Berharap masih ada seseorang di luar sana yang akan segera menolongnya meski dia tau, ruangan ini kedap suara.

Semakin lama, suara itu semakin keras. Dan tanpa sadar, tubuhnya merapat ke sudut ruangan. Duduk diam dengan mata tertutup rapat.

Kakinya meluruh. Seluruh tubuhnya seketika lemas. Ia tak bisa menahan lagi, kini tangisnya pecah.

Kakinya yang tertekuk hingga menutupi wajahnya membuat tangisnya menjadi samar terdengar.

"H -help..." ucapnya disela-sela isak tangis.

Tiba-tiba terdengar suara pintu di dobrak dan seperti ada seseorang menghampirinya. Refleks ia langsung memeluk orang itu. Salsha berpikir bahwa orang itu adalah seorang laki-laki. Tapi untuk saat ini, Salsha tidak perduli siapa yang ia peluk sekarang, yang jelas Salsha memeluknya sangat erat.

"Hey, lo kenapa?"

Yap. Benar saja. Dia cowok.

Terdengar jelas dari suaranya yang berat. Salsha tidak tau siapa. Karena matanya kini masih tertutup rapat saking takutnya.

UnobtainableTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon