Satu

7.5K 246 7
                                    

Seorang gadis menapaki pelataran sekolah dengan langkah mantap. Pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sekolah barunya, sekolah menengah atas dibilangan Jakarta. SMA Bintang Pelita.

Gadis itu, Salsha. Salshabilla Adriani lengkapnya. Dia masih memakai seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, sepatu sneakers converse hitam dan, tas suede krem hadiah dari Ayah-nya waktu tugas ke Milan menggantung manis di punggungnya. Rambutnya tergerai berwarna hitam legam.

Salsha. Well, gadis itu cantik, putih, pipinya yang cabi, tingginya yang standard untuk gadis seumurannya, dan juga postur tubuhnya yang bagus dan menarik.

Dan untuk pertama kalinya juga Salsha menyebrangi lapangan basket di sekolah ini.

Damn, gerutunya dalam hati.

Semua mata yang ada di sekolahan ini tertuju padanya. Terdengar siulan-siulan tidak senonoh dari lantai atas. Saat dia mendongak, belasan murid cowok sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada yang dengan cuek, memotretnya dengan kamera handphone.

Dengan ngeri, Salsha mempercepat langkah ke ruang tata usaha untuk mengambil seragam barunya dan buku-buku pelajaran nya semester ini.

Bunyi suit-suit yang semakin keras mengikutinya, tiba-tiba jadi lenyap setelah ada guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Salsha menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Salsha merasa seperti objek, hanya karena dia anak baru, pindahan dari luar negeri—Jerman.

Bukan. Salsha bukan asli Jerman. Tapi dua tahun lalu tepat saat dia kelas 10, Salsha dan keluarganya pindah ke Jerman karena tuntutan pekerjaan Ayahnya. Dan sekarang, dia pindah ke Jakarta juga karena tuntutan pekerjaan Ayahnya yang mengharuskan dia dan Bunda-nya juga ikut pindah.

Jadi anak baru emang nyebelin, gerutunya lagi. Salsha memang sudah sering pindah sekolah. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti bisnis Ayahnya. Mulai dari London, Singapura, Jerman, sampai balik lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan.

Salsha tidak terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di kota ini, waktu ia masih sangat kecil. Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal disini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya kemana-mana. Begitu banyak inspirasi yang dia dapat untuk dituangkan kedalam kertas gambar kesayangan nya.

"Ini seragamnya." ujar guru wanita paruh baya dibalik meja Tata Usaha.

Dua potong seragam putih abu-abu yang sama persis ukurannya, dan satu potong baju olahraga diserahkan dalam bungkusan plastik. Di sampingnya terdapat beberapa buku-buku pelajaran. Salsha lega, karena besok dia bisa mulai berseragam sama dengan murid-murid disini.

Salsha menghela nafas. Besok, hari-hari sekolah sebagai pelajar SMA di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos untuk mengurus administrasi.

★★★

"Eh, hari ini ada anak baru. Cewek loh," kata salah seorang cowok dengan rambut acak-acakan, Bastian, dengan antusias kepada tiga sahabatnya di salah satu bangku kantin.

Kiki manggut-manggut sambil terus mengunyah baksonya. "Katanya sih pindahan dari Jerman,"

"Emang. Cantik banget lagi. Tadi sebelum bel masuk, gue sama Aldi sempet liat dia lagi dikerubunin anak-anak dilapangan basket," Iqbaal menimpali.

"Bener, Di?" tanya Kiki pada Aldi yang sedari tadi sibuk dengan ponsel nya.

Aldi tersenyum sinis. "Gak cantik-cantik banget kalo menurut gue,"

UnobtainableWhere stories live. Discover now