22. Rasa Bersalah kian Menambah

404 120 97
                                    

"Bukankah aku sudah memberi ancaman? Tapi kau tidak mendengarnya."

Raka memperhatikan satu persatu teman-temannya, melihat mereka diam membuat ia semakin merasa bersalah.

Setelah mendoakan Rai sesuai dengan kepercayaan masing-masing, Raka menyuruh mereka untuk tidur.

Namun, bagaimana mereka bisa tidur? Teman mereka baru saja meninggal.

"Bagaimanapun kalian harus istirahat." kata Raka.

"Sisa empat hari lagi, apa kita bisa?" Arisha beranjak dari duduknya, lalu masuk ke dalam tenda.

Tiger berdehem guna memecahkan keheningan. "Tidur anak-anak, besok harus jalan lagi."

Tidak ada yang menyahut, mereka masuk ke dalam tenda. Kecuali Raka, Tiger dan---Dhafin.

"Gue mau ikutan jaga." Dhafin melirik Raka. "Gak usah nyalahin diri sendiri, ini semua udah takdir." lanjutnya.

Raka mengusap wajahnya pelan. "Maaf, gue belum bisa jadi pemimpin yang baik." Raka menatap bulan yang kini tidak ada satupun bintang yang menemaninya. "Secara gak langsung, kalian dalam bahaya karna gue."

Plak

"Mendingan lo diem deh, jangan banyak bacot."

***

Deon menatap Luna dengan khawatir.

"Bahaya Luna, jangan samperin Kakakmu, ya? Ayah takut kamu ceroboh dan akhirnya terluka."

Luna menggeleng keras. "Seharusnya bukan kak Raka! Tapi aku!" Ia memegang bola krystal berwarna bening itu sambil terpejam.

"Ayah harus mengerti." cahaya krystal itu kian menyala dan mengeluarkan cahaya purple yang dikelilingi kupu-kupu berwarna putih terang yang berterbangan.

Cahaya itu mulai padam, meninggalkan serbuk kilauan yang menyala. Luna, menghilang.

Deon mengehela nafas. Lagi-lagi, dia harus di tinggalkan.

***

Suara langkah kaki itu terdengar, dengan wajah yang tegas mereka menyusuri Hutan yang menyiksa mereka.

Harus berapa jauh lagi mereka melangkah?

Byurr

Semuanya sontak menoleh kearah belakang dengan panik.

"Tiger! Bikin panik aja lo!"

Tiger menoleh dengan wajah tak berdosanya. "Apaan? Gue cuma lemparin batu kesungai."

Andra berdecak. "Gue kira lo yang jatuh kesungai." ucapannya di angguki oleh semuanya.

Merekapun melanjutkan perjalannan kembali.

Baru beberapa langkah, Arisha memegangi perutnya yang sedikit kram. Tunggu, dia baru ingat bulan ini belum datang bulan.

Arisha ingin berhenti, namun melihat semak yang seperti pembatas di hadapan mereka. Membuat dia tidak mempedulikan rasa sakitnya.

"Ini harus di tebas kayaknya." Raka mengeluarkan pedangnya, begitupun yang memilih senjata pedang.

Srett

Łingga [END]Where stories live. Discover now