Epilog

22.7K 1.6K 118
                                    

Jangan lupa baca part 38❤

Epilog

Tubuh Miwa sudah mau ambruk. Rasa penat yang dia rasakan sungguh luar biasa. Bisa-bisanya tamu tak berhenti datang hingga malam. Oh, sungguh. Besok siang, mereka akan berangkat untuk honeymoon. Belum lagi perjalanan darat ditambah perjalanan udara sekitar 12 jam belum termasuk transit. Kenapa juga Arsya memilih negara yang jauh sekali seperti Mauritius?

"Biar nggak ada yang ganggu."

Miwa jadi terbayang alasan Arsya saat dia menanyakan kenapa negara di Afrika itu dipilih Arsya alih-alih Indonesia.

Dia pamit lebih dulu untuk membersihkan diri. Masuk ke dalam kamar pengantinnya. Tidak ada dekorasi yang heboh sebenarnya. Hanya ditambahkan bunga-bunga yang artificial, membuat kamar menjadi lebih indah.

Paviliun rumah keluarganya memang memiliki kamar mandi tersendiri. Sebenarnya, Miwa sudah mengganti baju tiga kali, sekarang ... keempat kali untuk mengenakan baju tidur. Jadi dia tidak lagi membutuhkan orang lain untuk membantu melepaskan pakaiannya sekarang. Setelah membersihkan wajah, Miwa masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi air hangat.

Dia berpikir lama terkait kegiatannya yang sungguh padat hari ini. Tentang keterkejutannya terkait Irsya. Entah apapun maksudnya, Miwa menganggap ini sebagai lampu hijau. Hijau yang begitu terang setelah sebelumnya hubungan mereka begitu gelap.

Sepuluh tahun.

Dia langsung mengenakan piyamanya di kamar mandi. Saat keluar, ternyata Arsya sudah berada di dalam kamar. Laki-laki itu duduk membelakanginya, tampaknya sedang memainkan ponsel.

Miwa baru akan mengejutkan laki-laki itu dengan berjalan mengendap sampai akhirnya dia melihat sendiri Arsya mengangkat ponsel dan berbicara.

"Terima kasih sudah mengizinkan Arsya menikah dengan Miwa, Pa."

Tubuhnya membeku. Miwa mengamati sendu punggung yang akan dia lihat seumur hidup itu . Satu kalimat itu berakhir dengan cepat. Tertegun, Miwa bahkan hampir lupa kapan terakhir kali Arsya berterima kasih kepada papanya secara tulus, tanpa tarik urat atau tanpa pertengkaran.

Ia tersenyum dan mendekati Arsya. Laki-laki itu memang tengah duduk di kursi santai yang menghadap ke luar paviliun, membelakangi ranjang dan juga kamar mandi. Miwa menumpukan tangannya di bahu Arsya sebelum memeluk lehernya dari belakang.

"Aku belum mandi, Miw," Arsya tersenyum tanpa menoleh ke arah Miwa.

Miwa meringis dan menegakkan tubuh. Baru saja dia ingin berjanji dengan lantang—dan di dengar Arsya, bahwa dia akan memperlakukan Arsya dengan sangat baik mulai hari ini, tingkah laki-laki itu bisa saja membuat kesal.

"Pinjam handuk, dong," Arsya berbalik tiba-tiba.

Miwa menunjuk dengan dagunya, "Ada di kamar mandi, kok."

"Masa sih?" Arsya berjalan lebih dulu sedangkan Miwa mengikuti dari belakang.

Perempuan itu sedikit berjinjit untuk menunjuk salah satu sudut. "Itu bukannya handuk kamu?" Arsya berbalik dan menarik tangan Miwa cepat hingga keduanya masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki itu menutup pintu, memerangkap tubuh Miwa dengan kedua tangannya.

Miwa spontan mendorong laki-laki yang sudah jadi suaminya itu. "Jangan aneh-aneh, deh!" Dia menoleh ke arah pintu, takut ketahuan.

Arsya tergelak melihat tingkah panik Miwa. "Kamu lupa kalau kita udah resmi?" Laki-laki itu masih tertawa, "Kebanyakan sembunyi-sembunyi sih kamu aneh-anehnya."

Ia mendorong tubuh Arsya dengan sekuat tenaga. "Nyebelin kamu. Aku baru berjanji mau jadi istri yang baik."

Arsya membuka pintu kamar mandi dengan segera, "Jadi nggak sabar." Ia kembali tersenyum lebar.

We Have To Break Up | ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz