3 : Waktu yang Terbuang

11.3K 1.7K 73
                                    

Halooo! Udah lama aku nggak update yaa. Selamat membacaa♥️

3 : Waktu yang Terbuang

Dalam sekejap, semua yang dia impikan hilang.

Ketika Miwa keluar dari kamarnya, ia mendapati Arsya dan adiknya tengah berbincang sambil menghabiskan sarapan berdua. Seolah tidak terjadi apa-apa pada mereka semalam atau saat Miwa meminta Arsya untuk pulang setelah memutuskan untuk menyerah pada hubungan mereka. Ia hanya lelah dan lelah.

Tidak ada kata yang menggambarkan suasana hatinya selain lelah.

Mata Miwa memicing. Dadanya kian sesak. Untuk itu ia menghembuskan napas berat. Meski sudah berusaha untuk tetap santai, Miwa tetap kehabisan energi untuk sekadar menyapa hangat.

Perasaannya semakin kosong dan hampa.

Lagi-lagi, ia hanya bisa menelan ludah. Sekalipun dia ingin mengalihkan pandangan dari keduanya, Nazira sudah lebih dahulu menarik tangannya untuk duduk di meja makan kecil mereka.

"Aku mau mandi dulu," pamit Nazira, masuk ke dalam kamarnya.

Arsya berdeham. "Kamu udah siap? Mau sarapan dulu?"

"Langsung berangkat aja."

Miwa memilih jalan terlebih dahulu untuk keluar dari unitnya. Jam kerjanya lebih pagi dibandingkan Nazira ataupun Arsya. Kalau ada waktu, Arsya selalu menjemputnya seperti ini. Bahkan, setahun terakhir prioritas waktu bersama Miwa jauh lebih meningkat dari sebelumnya. Arsya selalu menemaninya setiap waktu. Tentu hal itu terjadi karena tahun lalu ada pertengkaran hebat yang terjadi diantara mereka pasca pernikahan mereka diminta lagi untuk ditunda.

"Ziya belum tahu?" Tanya Arsya dingin menyamakan langkah dengan Miwa.

Miwa menggeleng pelan. "Aku nggak mau bahas-bahas itu dulu sama Ziya. Kamu ngapain jemput?"

Arsya masuk dalam lift terlebih dahulu. "Kebiasaan," jawab laki-laki itu singkat. "Dan, sepertinya kita butuh bicara lebih lanjut tentang rencana kamu yang nggak masuk akal itu."

Miwa berdiri di depan Arsya, pandangannya lebih meredup. "Nggak masuk akal gimana? Ini udah yang paling masuk akal dari semua tanda-tanda ini."

"Tanda-tanda apa? Kamu bahkan nggak ngasih aku kesempatan buat berbicara dengan Papa dulu."

"Tanda? Bahkan ini udah sangat jelas. Tiga kali, Arsya! Tiga kali!" Miwa menarik napas dalam, menetralkan emosi yang mulai menguasai dirinya. "Kamu pernah dengar aku curhat, Ayah marah? Tadi malam ... Ayah marah! Ayah benar-benar marah sama aku! Sesuatu yang nggak pernah Ayah perlihatkan di depan anak-anaknya! Aku bagai perempuan yang nggak punya harga diri di mata keluarga kamu karena terus menerus menunggu."

"Kamu nggak bisa memutuskan seenaknya begini, Miwa. Apa kamu nggak bisa sabar dulu?"

"Berapa lama lagi? Sepuluh tahun lagi?" Mata Miwa membulat, dia membuang napasnya dengan kasar. "Semalaman aku berpikir ... semalaman aku menyadari kebodohanku selama ini."

Mulut Arsya sedikit terbuka.

"Keluarga kamu ... bahkan bisa dalam semalam menikahkan kita. Nggak butuh rencana! Kolega keluargamu bisa membuatnya terwujud dalam semalam. Bahkan dengan menjentikkan jari, semuanya bisa tersedia dalam semalam!"

Arsya mengalihkan pandangan. "Kamu tahu ini bukan rencanaku,"

"Kamu terus-terusan menyelamatkan diri!" Ia kembali meledak. "Aku udah capek, Sya. Biarkan aku sendiri dulu." Miwa menelan ludah. Dia menekan dadanya di depan Arsya. "Bahkan, aku nggak bisa merasakan apapun lagi di sini" Miwa menunduk. "Aku mencari rasa kecewa dan rasa sedih itu dari semalam. Tapi aku nggak menemukannya. Aku hanya menemukan pikiran, 'Ah! Udah aku duga ini akan kembali terjadi. Apa yang aku harapkan?'. Apa kamu benar-benar nggak bisa melihat tanda apa yang sedang keluargamu tunjukkan sama kita? Kamu benar-benar nggak menyadarinya?" Wajah Miwa sudah mulai mengonfrontasi. "Apa kamu benar-benar nggak sadar akan semua ini, Sya?"

We Have To Break Up | ✓Where stories live. Discover now