33 - Dua Garis Singgung

8.6K 1.3K 144
                                    

33 - Dua Garis Singgung

Miwa yakin dirinya sudah memutuskan untuk bersikap egois : terhadap dirinya, terhadap hubungannya dan terhadap masa depannya. Dia tak akan gamang dalam membuat keputusan dan hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Dia hanya harus melakukan hal itu, mulai sekarang.

Dia tak peduli seberapa kuat tembok yang harus dia pecahkan, tak peduli sedalam apa laut yang harus dia selami atau dia tak peduli setinggi apa gunung yang harus dia daki. Miwa yakin, dia memiliki kekuatan dan semangat yang besar ... meski bodohnya, setelah sepuluh tahun dia baru ingin berjuang sekeras ini.

Dalam kenangan-kenangannya bersama Arsya, tahapan kehidupan dan pendewasaan yang mereka lalui ... Miwa yakin dialah orangnya. Dia hanya ingin hidup bersama Arsya, tidak mau yang lain. Kalau bersama orang lain, Miwa tidak bisa membayangkan ... bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta lagi ketika hatinya terpatri pada satu nama? Pun, berapa lama waktu yang harus dia habiskan hanya untuk move on ... yang dirinya sendiri pasti tidak mau melakukannya.

Ia terdiam di depan cerminnya, menatap wajahnya yang menyedihkan. Bahkan dia sudah diinjak harga dirinya sebegitu pahit oleh keluarga Arsya, namun masih keras kepala. Tapi setidaknya Miwa mengetahui bahwa mereka semua bukan hanya menyakiti Miwa, tapi menyakiti keduanya. Hanya butuh waktu ... sementara ... bertahan sebentar untuk membuat keadaan berbalik.

Miwa yakin hari itu akan segera datang.

Ia menarik napas panjang, ada rasa sesak yang dia rasakan ... begitu kuat. Ada risau yang menghentak dari tadi siang yang membuat segala fokusnya menjadi buyar. Ia duduk di depan cerminnya, baru saja selesai mandi dan membersihkan diri. Satu tangannya di atas meja rias, memegang satu bungkus benda yang tiba-tiba terpikirkan olehnya. Tak jauh dari tangannya, ada gelas yang penuh berisikan air dan satu strip obat yang harus dia minum. Tangan Miwa beralih ke obat itu, mengeluarkan satu pil dan segera meminumnya. Saat menelan, dia terkejut karena pintu kamarnya diketuk. Buru-buru Miwa memasukkan dua benda itu ke dalam lacinya. Tak lupa menguncinya. Kemudian baru terbatuk-batuk.

"Kakak udah selesai bebersih?" Ayah membuka pintu dengan perlahan, membuat Miwa membalikkan badan. Ia tak lupa menelan habis apa yang tercekat di tenggorokannya tadi.

Ayahnya sempat melirik ke arah gelas yang sudah berisi setengah, sebelum beranjak masuk ke dalam kamarnya dengan tenang. Ketenangan itu malah membuat Miwa gugup, dan Miwa berdeham cepat.

"Abis minum apa, Kak? Sampai merah gitu wajahnya?"

Miwa kembali meraih gelas, meminum cepat. "Aku ... baru minum vitamin, Yah. Kaget karena Ayah ngetuk pintu," ia berusaha untuk santai dan mengatur wajahnya agar tak terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.

"Ayah mau ngobrol sama Kakak," Ayah menatapnya dengan serius.

Miwa menunduk, sebelum mengangguk. "Tentang?" Tanyanya setelah beberapa saat.

"Tentu tentang masa depan putri sulung kami."

Miwa menelan ludah, sudah mengerti ke arah mana pembicaraan Ayah yang tiba-tiba datang ke Jakarta untuk urusan penting. Satu-satunya urusan Ayah ke Jakarta adalah bisnisnya, kemungkinan besar ... Ayah juga telah bertemu dengan Arsya.

"Tadi Ayah ketemu Arsya?"

Ayah mengangguk. "Ya, ada sedikit kendala. Ayah harus datang ke sini untuk konfirmasi."

Miwa sedikit tak mengerti, memilih hanya mengangguk.

"Terkait hubungan kamu dan Arsya. Seberapa yakin kamu nggak ada penundaan untuk keempat kalinya, Miwa?"

Ada hening panjang yang menyertai setelahnya.

Pertanyaan itu membuat leher Miwa kian tercekik. Jujur saja, dia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Selain tidak tahu, dia juga sama sekali tidak yakin. Untuk beberapa saat, Miwa hanya bisa diam sebelum membuka suara, "Aku yakin nggak ada penundaan lagi, Yah." Membohongi hati kecilnya.

We Have To Break Up | ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora