25 : Mengakar Kuat

7.7K 1.3K 189
                                    

25 : Mengakar Kuat

Hanya denting jarum jam yang menemaninya. Malam kian merangkak, tidak ada lagi suara dari luar. Embusan napasnya terdengar begitu jelas di telinga, berdenging seolah ada nyamuk yang berusaha mengusiknya. Dengan tatap harap pandangan lurus ke depan, dia kembali mengucapkan sesuatu di bibirnya.

Tentu tak ada suara, karena kini hatinya yang tengah berbicara. Katanya segala harap yang terpendam adalah pekikan paling keras. Meski bukan pada telinga manusia, tetapi sang pemilik cakrawala, yang mengatur dunia dan seisinya.

Mata Miwa masih bengkak, dia kembali melirik jam dinding pada ruangan VVIP ini. Di belakangnya ada sofa empuk untuk penunggu pasien. Namun, ia memilih duduk di bangku kecil, dengan punggung yang tegap, tak berpindah posisi entah dari berapa jam yang lalu.

Di depannya, Arsya tertidur nyaman, napasnya tampak sedikit memburu. Katanya itu karena detakan jantungnya memang lebih cepat dari angka normal. Namun, itu tak masalah lagi ... karena laki-laki itu tak lagi terganggu. Setidaknya dia hanya tertidur, bukan dalam keadaan kejang seperti saat kedatangan Miwa beberapa jam yang lalu.

Segera setelah mengetahui keberadaan Arsya, Miwa menelepon Rendi yang ternyata tengah menemani laki-laki di depannya ini. Rendi mengatakan Arsya baru saja tertidur dan perlu istirahat. Tak peduli, ia tetap datang dan membuat kesepakatan dengan Rendi bahwa dia yang akan menemani Arsya hingga sembuh.

Rendi sudah menjelaskan kondisi Arsya kepadanya. Tentang bagaimana laki-laki itu dalam beberapa bulan terakhir, juga konsumsi doping yang tak pernah diketahui Miwa, meski masih dalam pengawasan. Juga terkait bagaimana Arsya tidak bisa tidur dengan waktu normal beberapa waktu terakhir. Satu minggu ini, Arsya tak lagi meminta kopi sama sekali karena ia tahu tubuhnya sudah mengirin sinyal tak baik-baik saja. Arsya juga mulai mengurangi aktivitasnya. Sayangnya, dia memiliki keharusan untuk berpikir karena berdiam diri akan membuatnya lebih rumit lagi.

Semuanya menjadi bom waktu pagi itu. Dia keluar mobil dalam keadaan kejang. Memang hanya satu hingga dua menit, namun sukses membuat segalanya menjadi lebih suram. Miwa tak pernah melihat bagaimana seseorang dalam keadaan lemah, namun saat kondisi Arsya tiba-tiba menurun tadi malam ... seluruh dunianya runtuh.

Pertama kali dalam hidupnya dia merasa akan kehilangan Arsya, tidak bisa melihatnya lagi. Dokter jaga mengatakan kejang setelah mengalami gangguan kardiovaskular biasa terjadi, tapi apa yang dilihat Miwa tadi malam cukup membuatnya kalut. Melihat bagaimana tubuh Arsya tiba-tiba kaku dan suara erangan kecil. Dia tak ingin melihatnya lagi. Sama sekali.

Badannya gemetar, seolah dia tengah mengalami sesuatu yang menakutkan. Miwa menangis hingga menggigiti ujung bajunya agar tak terdengar lirih. Semuanya harus teredam, perasaan gundahnya, kalutnya dan segalanya hal yang tiba-tiba menyerangnya di dalam kepala. Segala sesuatu yang membuatnya kesusahan untuk berpikir jernih tetaplah menjadi rahasianya.

Perempuan itu mengusap pelan pelipis Arsya, berhati-hati agar tak membangunkan lelaki itu. Merasakan kembali ledakan rasa sayang dan khawatir yang luar biasa. Dalam satu waktu, satu getaran, satu luluh lantak. Dia bahkan lupa harga diri yang harus dia jaga, dia perjuangkan. Perasaan ini bak gelombang dahsyat tiba-tiba menyerang.

Miwa hanya tak pernah menyadari bahwa segalanya telah mengakar kuat, seiring dengan lamanya mereka bersama.

Sepuluh tahun, tanpa arti? Arsya benar-benar bercanda saat mengatakan itu kepadanya. Saking berartinya, semuanya menjadi tak terasa lagi, mengendap bersama jiwa dan sanubarinya, menyerta dalam setiap langkahnya.

Dalam ketegangan dan kecemasan itu Miwa merasakan sendiri bagaimana doa Ibu ketika dia atau Nazira sakit : biarkan dia ikut menanggungnya.

Ia menunduk, merasakan air matanya kembali menyeruak.

We Have To Break Up | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang