7

27 8 0
                                    

Pagi ini, suasana kelas seperti biasanya, ribut dan kacau. Mereka berbincang dan tertawa begitu lepas. Ada yang sibuk berkelahi karena hal hal kecil, bernyanyi sambil bermain gitar, bahkan ada yang memilih tidur menunggu sang guru datang. Tak terkecuali Hartigan. Pria itu kini berbincang ringan oleh penghuni kelas, beberapa kali akan ikut tertawa saat jika temannya melontarkan candaan.

Hartigan menatap sekeliling, mencari seseorang yang tidak membalas pesannya sejak kemarin. Yap! Disana. Athena tengah diam, tak melakukan apapun, hanya diam. Lebih tepatnya melamun dengan kedua tangannya saling menggenggam, bergerak gelisah di bawah bangku. Wanita itu seolah tak sadar bahwa Hartigan menatapnya lekat, begitu penasaran.

Kemudian, Hartigan mengedipkan matanya lalu menggeleng. Apa yang baru saja ia lakukan? Sejak kapan Hartigan menjadi penasaran tentang eksistensi seorang Athena. Namun, Hartigan menyadari satu hal, di balik cardigan rajut berwarna mocca itu, pergelangan tangan Athena terbalut sebuah kapas.

Saat Hartigan mencoba memperhatikan lebih seksama, guru yang mereka tunggu tunggu akhirnya datang. Ia dengan sigap turun dari atas meja yang ia duduki lalu berjalan menuju mejanya. Tanpa sengaja, matanya kembali menangkap Athena yang kini mengepalkan tangannya begitu erat, lalu tangan satunya terangkan untuk menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Sekali lagi, Hartigan menggeleng. Meyakinkan dirinya bahwa Athena baik-baik saja.

"Baik, seperti yang ibu janjikan hasil ulangan kalian akan ibu bagikan hari ini." setelah mengatakan hal tersebut, kelas menjadi ribut dengan suara sumbang penghuninya yang mendesah lelah dan sedikit kesal. Jika boleh, mereka memilih untuk tidak tau sama sekali.

Sedangkan sang guru hanya tersenyum, ia juga mengerti, ia pernah muda dan ia juga pernah lelah dengan angka angka. Namun pada hakikatnya, hidup memang seperti itu bukan? "Seperti biasa, Daniel meraih nilai tertinggi." sorakan terdengar begitu keras. Hartigan hanya tersenyum lalu berdiri untuk mengambil kertas ulangannya yang tertera nilai sempurna itu.

Athena hanya diam. Ia sudah tau bahwa ia akan berada di bawah Aira, namun setidaknya, tolong jangan terlalu di bawah. Athena sudah berusaha semampunya. Guru tersebut terus memanggil nama-nama sesuai dengan urutan angka. Aira berada di urutan ke 4. Kali ini Athena tegang, jika urutan ke 5 bukan dirinya maka itu adalah masalah besar. "Athena." Athena menarik napasnya lega. Akhirnya. Kali ini tidak ada sorakan atau bahkan tepuk tangan seperti sebelumnya. Mereka hanya diam menatap Athena yang berdiri dan mengambil kertas ulangannya.

Tanpa siapapun sadari, selain Athena, seseorang juga menarik napas lega. Hartigan, pria itu memperhatikan tangan Athena yang gemetaran memegang kertas. Untuk pertama kalinya, ia berpikir. Boleh ia memegang tangan itu?

✵✵✵

Jasmine keluar dari salah satu bilik toilet wanita setelah menyelesaikan urusannya. Ia berjalan menuju wastafel dan menemukan satu orang yang ia kenali disana. Athena. Tapi bukan itu yang menarik perhatian nya, melainkan kini Athena mengambil tisu untuk melap darah yang keluar dari hidungnya. "Lagi?" Athena berbalik dan menemukan Jasmine disana.

Tanpa peduli, Athena kembali mengambil tisu namun kali ini diambil alih oleh Jasmine. Wanita itu menghapus semua jejak darah di wajah Athena. "Kali ini ada apa?" tanyanya setelah membuang tisu tersebut ke dalam tempat sampah.

"Buka urusanmu." jawab Athena dengan tatapan datarnya. Tanpa berucap terimakasih, ia melangkah keluar.

"Tunggu!" langkahnya terhenti kala mendengar panggilan Jasmine.

Jasmine mendekat, menarik salah satu tangan Athena. Athena terkejut kemudian menarik tangannya namun sayang, ia tidak bisa mengalahkan kekuatan Jasmine yang memegang tangannya jauh lebih erat. Jasmine menatap tajam Athena, ia mengangkat lengan cardigan Athena. "Athena, kau gila?!" Jasmine meninggikan nada bicaranya, antara kaget dan marah.

Kini Athena berhasil menarik tangannya. Ia tidak ingin membalas apapun ucapan Jasmine. "Kau ingin membunuh dirimu karena nilai? Ternyata kau lebih bodoh dari yang ku bayangkan." langkahnya kembali terhenti.

"Bisa kau berhenti mencampuri urusanku? Kah tidak punya hak apapun untuk tau, Jasmine." katanya lalu pergi, kali ini benar-benar pergi tanpa peduli suara Jasmine yang meneriaki nya. Jujur, kemarin adalah kali pertama Athena melakukan hal tersebut. Ia juga sedikit terkejut dan tidak sadar saat mengambil benda tajam di lacinya. Tapi pertanyaannya, kenapa itu menyenangkan? Seolah candu baginya.

Namun, Athena tidak sadar bahwa ia menjatuhkan satu hal. Sebuah kotak berisi gantungan kunci kotak musik yang selalu ia bawa kemana-mana. Jasmine mengambilnya, kemudian menatap Athena. Wanita itu kini sudah sangat jauh.

✵✵✵

Saat sampai di rumah, ia menemukan mamanya kini telah duduk di sofa seolah tengah menunggunya. Athena berjalan menghampiri wanita yang seberapa kali pun Athena membantah nya, wanita itu tetap orang yang melahirkan nya. Meski Athena sekarang berharap tak pernah lahir sama sekali. "Delapan puluh tujuh?" tanya Anya setelah Athena salaman.

Athena mengangguk. Bukan hal mengejutkan lagi. Jika bukan dari guru, mamanya pasti mendengar dari Aira. Athena mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. "Aira mendapat sembilan puluh." ah berarti kali ini dari Aira. Athena hanya menunduk dalam menyesal.

Srek...

Kepalanya terangkat, ia mendapati mamanya kini merobek kertas ulangan tersebut. Walaupun rendah, itu adalah hasil kerjanya. Ia mengerjakan dengan jujur, tanpa bantuan siapapun. Apa begitu sulit untuk melihat usahanya? Athena menonton dengan mata berkaca. Kemudian reflek menutup matanya saat Anya menaruh kertas robekan itu di wajahnya dengan kasar.

"KENAPA KAMU TIDAK PERNAH BISA MENGALAHKAN AIRA SIH ATHENA?! MAMA MALU PUNYA ANAK YANG BODOH SEPERTI MU!" kan? Sudah di bilang kan?

"Maaf ma..." hanya itu yang selalu bisa Athena katakan.

"Mama tidak mau maaf, mama maunya kamu di atas Aira. Apa susahnya sih?! Usaha Athena! Usaha!" Athena menggigit bibirnya begitu keras, menahan air matanya agar tidak keluar, meski pelupuk matanya telah tergenang air mata yang siap keluar kapan saja. Ia akan menangis, tapi setidaknya jangan di depan Anya. Terlalu keras, hingga tak sadar bibir itu kini berdarah.

"Pergi! Mama tidak mau kamu muncul selama Aira disini!" Athena berdiri lalu pergi setelah memungut semua barangnya. Kali ini bukan ke kamar, Athena berjalan menuju pintu depan. Berniat meninggalkan rumah ini, mengistirahatkan dirinya untuk sejenak.

Saat membuka pintu rumahnya, ia terdiam kaku. Hartigan, pria itu kini berdiri di depan pintu, menatap nya lekat. Lalu tanpa sadar, air matanya sudah tidak tertahan. Athena benci, kenapa pria itu yang harus melihatnya saat menangis. Kenapa pria itu harus melihatnya saat ia tidak baik-baik saja?

Tangan Hartigan kini mengepalkan melihat keadaan wanita di depannya. Rambut yang telah acak-acakan, wajah yang sangat indah itu kini memerah dengan air mata di pipinya dan yang lebih parah, bibirnya kini mengeluarkan darah.

Tanpa izin, Hartigan meraih tangan Athena, menarik wanita itu keluar dari pekarangan rumah menuju motornya. Ia mengambil Athena, membawa wanita itu menuju tempat yang bisa memberi ketenangan. Kali ini, Athena harus baik-baik saja. Setelah ini, tidak ada yang berhak membuat wanita itu menangis.

----
TBC

AORTAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt