1

44 8 0
                                    

Gadis itu duduk di halte bus dengan dengan earphone bertengger manis di telinganya. Tempat itu lumayan sepi karena ia pulang cukup lambat, pukul 05.38 sore. Kepala yang tadinya menunduk itu terangkat kala ia sudah merasa terlalu bosan. Ia menghela napas lelah. Kalau begini lebih baik menggunakan taksi, daripada kemalaman. Memilih untuk berdiri, wanita itu berjalan ke ujung trotoar lalu memberhentikan salah satu taksi, meninggalkan halte bus.

Sepanjang perjalanan, ia hanya terdiam, memperhatikan pemandangan kota di sore hari, matahari yang mulai terbenam menambah kesan indah. Cahaya berwarna oranye itu menembus gedung-gedung pencakar langit, bunyi klakson kendaraan menjadi backsound menggantikan musik yang telah ia matikan sejak tadi. Setelah di pikir-pikir, hidupnya benar-benar membosankan.

Mamanya mengabari bahwa semua ia pergi bersama sang papa ke rumah tante Anya, katanya syukuran karena Aira berhasil lolos ke provinsi. Syukuran kecil kecilan sih katanya. Tapi jika Athena ada disana, pasti akan terasa sangat menyesakkan. Mungkin karena Irina, mamanya, mengerti bahwa ia tidak akan nyaman berada disana, memilih pergi tanpa membawanya. Entah apa yang akan menjadi alasan ibunya itu saat ditanya kemana Athena.

Yah, Athena penting. Untuk memperlihatkan kehebatan Aira, untuk menegaskan perbedaannya, untuk berkorban menjadi orang yang akan di jatuhkan. Cukup seperti itu. Mereka tidak pernah berpikir lebih jauh membuat Athena berpikir sama, apa ia bisa lebih jauh? Athena mengeratkan genggaman ponselnya, menahan sesak di dadanya. Bagaimana rasanya menjadi berharga? Sungguh, Athena penasaran. Beberapa saat kemudian, taksi itu sudah sampai di rumah berwarna putih dengan pagar yang tertutup. Ya, rumahnya. Athena membayar lalu segera keluar. Ia ingin masuk dan beristirahat. Hari ini terasa lebih berat dari biasanya, meski hari-hari lain juga terasa berat.

Mengambil kunci di bawah pot seperti yang tadi mamanya katakan, Athena kemudian memasuki rumah sepi sunyi senyap itu.

Ting!

Athena membuka ponselnya. Melihat foto yang di post para sepupu, tante, paman bahkan orangtua nya di aplikasi instagram itu. Mereka tersenyum sangat bahagia dengan Aira yang berada di tengah. Senyuman yang seolah menjelaskan berapa bangganya mereka, senyuman yang tidak pernah Athena bisa berikan.

"Mama Papa bisa bahagia di sana, tapi Athena bahagia dimana ma, pa? Athena sudah melakukan semuanya. Harus apa lagi? Beritahu, jangan tinggalkan Athena sendiri. Ajar, supaya kalian tidak perlu mencari kebahagiaan di tempat lain. Athena anak kalian loh, bukan Aira." Ingin rasanya ia melempar ponselnya itu, namun ia masih sadar diri bahwa membahagiakan orang tuanya saja tidak bisa, ia tidak boleh menambah beban lagi.

Akhirnya, ia memilih berjongkok, memeluk kedua lututnya sambil menangis se kencang mungkin. Seperti yang biasa ia lakukan. Athena tidak punya tempat untuk menumpahkan semua keresahan nya itu. Semua temannya tau bahwa ia adalah sepupu Aira, si kebanggaan sekolah. Si kebanggaan keluarga. Mereka selalu membandingkan, memilih berteman dengan Aira karena Aira lebih segala-galanya. Semuanya tentang Aira.

✵✵✵

Athena terbangun dari tidurnya. Matahari telah memancarkan sinarnya. Seperti biasa, ia akan bangun sendiri. Turun ke bawah, ia menemukan keadaan rumah yang kembali sepi. Ini hal yang wajar, kecuali satu. Kenapa Deo ada di sini? Yah mungkin bisa di bilang wajar, ini akhir pekan. Tapi biasanya bahkan akhir pekan Deo tetap betah di apartemen nya sendiri, atau menikmati liburan bersama temannya.

Merasakan keberadaan sang adik, Deo melirik sekilas, lalu kembali fokus pada televisi di depannya. "Bang, kok pulang?" tanya Athena saat telah berada di depannya. Pertanyaan retoris. Deo memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan itu. Ia menarik tangan Athena, mengambil ikat rambut di pergelangan tangan wanita itu lalu mengikat rambut se punggung milik sang adik.

AORTAWhere stories live. Discover now