13. Dependency 🌷

Comenzar desde el principio
                                        

Reane tiba-tiba tertegun. Dia tidak pernah berpikir tentang ini. Dia tersenyum rendah dengan punggung berbalik agar Grehen tidak melihat ekspresinya. "Untuk apa aku memaksa diri? Aku akan pergi jika itu terjadi."

***

    Sore hari tiba. Reane dengan pakaian anggun rapinya kini tengah berjalan menuju kamar Ray. Ia menduga, Grehen ada di sana untuk mempersiapkan pakaian apa atau penampilan bagaimana saat keluarga Helison datang nanti. Namun di luar dugaannya, ternyata Grehen hanya diam berdiri di luar pintu Ray seperti patung penjaga. Mungkin menyadari keberadaannya, Grehen menatapnya dari atas ke bawah seolah meneliti penampilannya. Lalu dia mengangguk sedikit puas tanpa Reane mengerti apa maksud anggukannya.

Sebelum Reane berkata sesuatu, Grehen terlebih dahulu berkata. "Anda datang untuk menjemput Tuan Muda, kan? Kalau begitu saya pergi untuk mengatur jamuannya."

Reane berkedip bingung. "Bukankah... Anda yang mengatur persiapan Ray?"

Grehen menatapnya aneh. Lalu berkata sedatar biasanya. "Saya hanya menyiapkan apa yang Tuan Muda butuhkan, tidak dengan ruang pribadinya. Bahkan saya tidak berani mengatur kerapian rambutnya."

Reane memiringkan kepala bingung.

"Hal-hal kecil itu mungkin Anda sendiri yang lebih pantas mengaturnya." Grehen berkata tenang. Lalu berjalan sembari berkata. "Saya pamit dahulu."

Saya melewatinya, Grehen berkata lagi. "Penampilan Anda terlihat lebih baik."

Di saat Grehen melanjutkan jalannya dengan langkah lebar, Reane menoleh melihat punggungnya dengan kening berkerut dan bergumam. "Apakah penampilan Reane sebelumnya selalu buruk?"

Reane mengangkat bahu tidak peduli dan mulai melangkah mendorong pintu Ray. Sebelum badan gadis itu sepenuhnya masuk, Reane menjulurkan kepalanya terlebih dahulu. "Ray? Apakah kamu sudah bersiap?"

Reane melihat pria itu dengan pakaian yang setengah rapi duduk diam di sisi tempat tidurnya. Entah apa yang dia lakukan karena membelakanginya. Reane menatapnya penasaran dan masuk.

Entah sudah menyadari keberadaanya atau tidak, tapi punggung pria itu menegak saat Reana berjalan semakin dekat. Suara sepatunya bergema di keheningan kamar.

"Ray?" Reane memanggil ragu dan melihatnya memegang sisir rambut dengan mata menatapnya berkedip.

Ia menjadi teringat perkataan Grehen di luar tadi. Entah kenapa dia menjadi lebih lega seolah mainan yang sempat Grehen rebut ternyata hanya kesalahpahaman.

Melihat rambutnya masih berantakan dan lembab, Reane tersenyum dan berjalan mendekat di hadapan Ray yang tengah memerhatikannya lekat.

"Apakah kamu belum menyisir rambutmu?" Tanpa menunggu jawabannya, Reane mengambil sisir di tangannya dan berkata pelan. "Biarkan aku membantumu."

Ray mendongak menatap wajah orang dihadapannya yang cukup dekat. Hatinya yang kosong seolah terisi, dan aroma yang ia sukai menjadi lebih kuat di ujung hidungnya. Dengan patuh ia diam saat tangan lembut menyentuh rambutnya.

Namun ternyata bukan hanya dia yang nyaman, Reane merasa sangat candu saat menyentuh rambut halus Ray yang sepertinya melebihi kehalusan rambutnya sendiri. Jarinya menelusup diikuti sisiran pelan.

"Shampo apa yang kamu pakai? Mengapa rambutmu begitu lembut?" gumam Reane dengan helaan nafas iri.

Ray langsung mendongak lagi saat matanya yang mengantuk akan segera terlelap karena kenyamanan. Dia memiringkan kepala bingung melihat wajah cemberutnya.

Menyadari dirinya sedang ditatap dengan mata bingung menggemaskan itu, Reane menahan diri untuk tidak mencubit kedua pipinya. Walaupun hatinya sudah meleleh seperti salju menghadapi api.

"Oh ... sudahlah." Reane menghentikan tangannya dengan paksa yang terus menerus mengusap rambut Ray karena kecanduan. Dia tersenyum dan berkata. "Sudah rapi."

"Apakah kamu mengantuk?" Reane terkekeh saat menyadari mata mengantuknya. "Jangan tidur dahulu. Kita harus menemui semua keluargamu. Ayo berdiri."

Saat Reane akan membantunya berdiri, kepala Ray malah bersandar di bahunya. Dia kewalahan karena berat badannya, namun untung saja masih bisa di tahan. "Ayolah, segera berdiri, kucing pemalas."

Dia begitu menempel seperti permen karet. Reane tidak berdaya dan membiarkan pria itu terus mengendus yang membuat wajahnya sedikit merah.

Di saat Ray sudah benar-benar berdiri lewat perjuangannya, pria itu malah memeluk tubuhnya dan semakin menempel dengan wajah di tengkuknya.

Reane berusaha mendorong agar dia tidak terus menempel, namun kekuatannya yang kecil sangat tidak sebanding.

Reane menyerah karena lelah dan bersandar tanpa sadar di bahu pria itu. "Sudahkan cukup? Lepaskan, bagaimana jika mereka datang sebelum kita menyambutnya?"

"Sudah, tidak perlu. Aku lebih senang saat disambut dengan pemandangan ini."

Suara berat nan lembut tiba-tiba terdengar dari pintu. Reane memandang dengan terkejut saat melihat seorang wanita tua berdiri rapuh di sana dengan senyum lembutnya. Di sampingnya ada wanita yang beberapa tahun lebih muda dari wanita tua itu, hanya saja ekspresi berbanding terbalik. Mungkin tak sempat menyembunyikan eskpresi kusutnya, dia dengan cepat tersenyum jelek karena paksaan.

"Ya, benar, Bu. Sepertinya kalian lebih dekat dari yang kuduga."

***

TBC

Maafin aku woy, karena kelamaan Up😭🙏 Lov you, nanti aku kasih up lagi kalo gabut hahaha..

__

23.25
27 Desember 2022

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora