3. Cita-Cita Alfan

50 6 8
                                    

UPDATE LAGI😃

Suatu kebanggaan buat aku bisa update cepat... Tapii setelah aku masuk sekolah nanti aku gk janji bakal up cepat krena fokus ujian kelas 12😁

Tapi kayaknya aku bakal up seminggu sekali deh. Kalian mau aku up hari apa? Rabu atau malam minggu?

BTW, kalian jngn lupa vote dan komennya.... Sederhana loh dan tentunya gratis! Komen sebnyak kalian mau, jika ada kekurangan dlam kepenulisan juga boleh di komen atau dm aku hehe


HAPPY READING

“YESS! AYAM GORENG!!”

Cowok dengan kaos putih juga celana selutut itu berlari dari arah tangga menuju meja makan. Penciumannya yang tajam seperti kucing itu sudah bisa menebak apa yang sedang dimasak oleh sang Mamih.

“EITS! MAU NGAPAIN?!” Rana, ibu Alfan itu berdiri menghentikan langkah cowok itu. Wanita dengan pakaian sederhananya itu menatap anaknya berkacak pinggang tidak lupa spatula yang ada disalah satu tangannya.

“Mau makanlah Mamih.”

“Makan apa?”

“Ayam goreng.” balasnya mengerjap polos.

Rana menggeleng gemas. “Itu ayamnya buat tamu. Sekarang kamu makannya yang ada dimeja aja.”

“Lah kok gitu? Sisaan satu gak ada?”

“Gaada ganteng. Mamih goreng pas banget. Udah sana makan yang lain aja.”

Anak bungsunya ini maniak ayam sekali. Apapun masakannya jika didalamnya ada ayam, Alfan langsung semangat. Rana bahkan dibuat heran, entah anaknya ini keturunan siapa.

Bahu cowok itu merosot. Melangkah menuju meja makan, Alfan memandangi lauk pauk dihadapannya sendu. “Lagian siapa sih Mih, yang malam-malam mau bertamu?”

“Teman Mamih. Udah deh kamu banyak tanya.”

“Mending kamu makan abis itu masuk kamar. Biasanya juga pacaran terus sama kamera kamu.” lanjut Rana kembali bergulat pada masakannya.

Wanita itu tahu kegiatan yang dilakukan anak bungsunya ini. Jika sudah menginap di kamar seharian sudah pasti dia sedang bergulat dengan kamera kesayangannya itu.

“Nanti aja. Lagian tadi habis ngerjain tugas dulu, terus cium masakan Mamih malah jadi lapar.”

Rana menggeleng heran. “Kamu ini ada-ada aja.”

Derap langkah kaki terdengar, Alan—kembarannya— datang dengan santainya membawa kantong plastik ditangannya. Cowok itu lalu menyalimi Rana.

“Abis dari mana?”

“Depan Mih.”

Rana mengangguk. Alan melangkah mendekati Alfan yang menelungkupkan kepalanya dimeja. “Kenapa?” tanya datar. Abangnya ini memang memiliki sifat yang dingin namun dibalik itu dia juga mempunyai kepedulian dan kepekaan yang tinggi.

“Gak ada ayam goreng.” balasnya lesu.

Tidak heran bagi Alan. Cowok itu lalu menyodorkan bungkusan yang dia beli tadi. “Nih, martabak.”

“Enggak. Gue maunya ayam. Tadi lo keluar kenapa gak sekalian beli ayam goreng di pinggiran?”

“Gue gak tahu. Lagian Mamih masak.”

“Iya masak. Buat tamu tapi.”

“Dasar ipin! Ayam goreng terus yang dipikiran kamu.”  Rana mendekati kedua anaknya. Telinganya panas kala mendengar kata ayam goreng terus dari bibir bungsunya itu. “Makan seadanya, besok Mamih buat yang banyak.”

KITA BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang