Karsa

0 0 0
                                    

Biasanya, aku tidak pernah menangis. Saat ibuku pergi, saat ayahku pergi, aku tidak menangis. Entah karena aku tahu mereka akan kembali, atau entah karena aku tidak melihat wajah mereka saat pergi.

Akan tetapi, kali ini aku ingin menangis kencang. Menangis yang keras, menangis yang terlihat seolah-olah tidak akan berhenti meski beribu orang membujukku untuk tidak menangis.

Ayahku semakin tua, aku tahu. Umurku juga tidak lagi belia, aku tahu. Jadi, kali ini, ketika aku menyaksikan ayahku melangkah keluar dari pintu rumah untuk yang ke sekian kalinya guna pergi ke perantauan, hatiku tiba-tiba saja ngilu dan sedih.

Aku melihat helaan napas beratnya. Aku merasakan kerutan lelah di wajahnya ketika menutup pintu dan bersiap melangkah. Apa seberat itu, Ayah? Apa kemiskinan menekanmu sekuat dan sememuakkan itu? Dalam lingkar orang miskin, jadi kepala keluarga berarti harus mengabaikan umur yang menua, lelah yang mendera, dan badan yang meronta tak ingin bekerja karena uang orang miskin tidak keluar begitu saja dari grafik-grafik saham, pabrik yang beroperasi, atau baju setelan rapi.

Sebagai anak yang mulai mengerti tentang seperti apa kehidupan yang ayahnya jalani selama ini, aku ingin menahan langkahnya kali ini saja. Menahannya agar tetap di rumah, tiduran sembari menonton acara televisi kesukaannya, dan menghisap batang-batang rokok memuakkan favoritnya itu sesuka hati.

Akan tetapi aku tidak bisa.

Karena jika kulakukan, aku harus sudah mampu untuk menyokong hidupku sendiri dan mengalihkan semua beban ke pundakku. Dan aku belum sekuat itu. Jadi, yang kulakukan sekarang hanya menangis sendirian.

Tangis pertama yang kulakukan setelah sekian abad ayahku pulang dan pergi. Entah kemana aku selama ini hingga baru sempat menangis sekarang. Entah karena pikiran buruk  di kepalaku atau entah karena aku merasa iba tetapi tak bisa melakukan apa-apa.

Dalam lima tahun lagi, kuharap ayahku masih cukup sehat dan baik-baik saja. Janjiku, dalam lima tahun lagi akan kuangkat beban finansial keluarga ke pundakku. Ayahku bisa menghabiskan waktunya di rumah melakukan apa yang dia suka, ibuku juga sama tanpa perlu bertengkar memperdebatkan uang yang mulai menipis, beras yang mulai habis, dan lauk-pauk yang tidak bisa hadir dengan menangis karena ayahku tidak kunjung kembali ke perantauan untuk bekerja. Aku harap lima tahun waktu yang cukup untukku bisa jadi lebih berguna.

Berguna menggantikan tulang ayah, berguna menggantikan peluh ibu, dan berguna bagi hidup adik-adikku. Memberikan mereka kehidupan yang nyaman meski harus kuperas darah dan keringatku.

AsiaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora