Amerta

0 2 0
                                    

Dari dulu, aku selalu terlalu terbiasa melepaskan. Aku selalu membiarkan semua yang datang untuk pergi dengan sesuka hati jika mereka muak bersamaku. Aku tidak pernah menahan mereka atau paling tidak berusaha mencegah mereka pergi meninggalkanku. Aku akan memilih melepaskan semua orang, membiarkan mereka memilih orang lain, lalu hidup bahagia tanpa merasa bersalah kepadaku.

Setelah kupikir-pikir, selama ini aku selalu menjadi pihak yang mengalah dan pasrah. Aku tidak pernah memperjuangkan seseorang untuk bertahan di sisiku meski orang itu adalah sosok yang membuatku merasa nyaman sekalipun.

Aku terbiasa melepaskan dan membiarkan mereka bersama yang lain karena kupikir, memang lebih baik begitu. Aku tidak berani meminta lebih kepada teman-temanku, misalnya saja diantar ke sana atau ke mari karena aku tidak ingin merepotkan. Aku selalu mengalah sembari tersenyum ketika kami akan pergi main ke suatu tempat, lalu jumlahnya ganjil sementara kendaraan yang dipunya hanya dua, lalu berkata, "Tidak apa-apa, A saja yang pergi. Aku di sini saja, nanti aku bisa pergi ke sana atau menumpang ke kos si itu," padahal aslinya aku ketakutan dan tidak tahu ingin pergi ke mana karena ditinggal sendirian. Atau saat aku ingin pulang dan menumpang pada seorang teman, lalu ada teman akrabnya yang lain yang tiba-tiba tidak ada tebengan, aku akan membiarkan mereka pulang bersama meski posisinya aku yang pertama yang ditawari. Karena aku tahu, temanku lebih nyaman dengan teman akrabnya daripada dengan diriku yang kaku.

Pada akhirnya aku kembali sendirian.

Bukan. Bukan karena mereka meninggalkanku atau bagaimana, tetapi aku yang memilih sendirian. Aku merasa aku bukan orang yang asik, bukan seseorang yang bisa membuat nyaman semua orang, bukan seseorang yang diinginkan, dan aku tahu mereka akan baik-baik saja dengan ada atau tidaknya eksistensiku.

Setelah kupikir-pikir, sekarang aku cukup sedih juga. Kenapa aku selalu mengalah? Kenapa aku tidak bisa sekali saja memperjuangkan seseorang dan memaksanya tetap berada di sisiku?

Dan aku sadar, aku sudah tahu jawabannya sejak awal, tetapi entah kenapa kepala kecilku terus saja mengajukan pertanyaan serupa. Jawabannya sederhana, aku hanya merasa tidak pantas untuk siapa pun. Mereka layak dapat yang lebih baik. Teman yang lebih baik, rekan yang lebih baik, sahabat yang lebih baik, bahkan pacar yang lebih baik dan aku sama sekali tidak memenuhi kriteria "lebih baik" itu dari hasil observasiku sendiri.

Jadi, ketika satu per satu teman-temanku pergi karena mereka telah selesai dengan urusannya denganku, aku merasa baik-baik saja karena aku tahu alasannya sejak awal. Meski, yah, agak sedih juga. Akan tetapi, aku tidak bisa memaksa mereka untuk tinggal dan jalan yang kupilih selalu sama, memasang senyum baik-baik saja sembari menarik diri perlahan karena mereka menemukan seseorang yang lebih seru dan menyenangkan.

Semua orang berhak bahagia, jadi aku tidak menahan mereka untuk tetap berada di sisiku. Aku juga takut dibenci by the way.

Aku bersikap biasa saja ketika seseorang yang mengaku sahabatku menemukan teman baru dan selalu bersama, tidak pernah bicara padaku lagi meski ibuku satu kali berkata, "Si B main sama kamu kalau temannya lagi tidak ada saja, ya? Lihat tuh kalau dia ada temennya, langsung lupa sama kamu," dan yang kulakukan hanya tertawa pelan sembari mengangkat bahu dan berkata, "biar saja."

Padahal, aku sedih juga. Tapi ibuku tidak akan mengerti kenapa aku memilih untuk pura-pura tidak peduli dengan apa-apa yang pergi dari hidupku. Aku hanya tidak ingin mencegah orang-orang yang kupedulikan menemukan kebahagiaannya. Pergi jika kalian menemukan yang lebih baik dariku, peranku hanya sampai di sana dan yang benar setia kepadaku hanya diriku beserta kesendirian.

Jadi, kurasa hingga akhir mungkin aku tidak akan pernah memaksa seseorang untuk tinggal. Aku tidak apa-apa sendiri. Toh, selalu ada orang baru yang datang meski akhirnya mereka pergi juga.

AsiaWhere stories live. Discover now