Ardaya

1 1 0
                                    

Di tengah jeda yang tak pernah ada, aku memutuskan untuk mengambil jemari lalu membawanya menari ke mari. Setelah kupikir-pikir, selama waktu seumur jagung di tempat yang sama sekali tidak kukenali ini, aku semakin mengerti bahwasannya hidup memang seringnya tentang diri sendiri.

Tidak ada yang benar-benar peduli pada dirimu selain kehampaan, jadi kamu tidak butuh berkorban terlalu banyak. Aku pun mulai menyesali kenapa aku membuka semua lima puluh kartu yang kupunya. Sekarang, aku jadi merutuki diriku dan segala kebodohannya. Tidak ada gunanya semua ini. Aku kehilangan persepsi yang kususun sepenuh hati, aku membuang idealismeku bersama harapan semu yang hanya terjadi di kepalaku.

Ketika kita merasa benar dan ternyata itu adalah sebuah kesalahan, tidak akan ada yang berbaik hati ingin membantu mengoreksi. Hidup dan mati sendiri. Mereka hanya suka menonton dan menikmati tanpa mau ikut campur membenahi. Kalau salah, ya mati sajalah. Kalau benar, mereka jadi jauh dari sukar.

Selain itu, aku juga mendapati bahwa ternyata selama ini diriku hanya ingin unjuk gigi dan pamer kebolehan saja padahal benakku hanya sebesar kacang dan pencapaianku tak terlihat bahkan oleh teleskop bintang. Aku membuang-buang waktu dengan kebodohan dan berparodi bak orang tolol yang tersesat di tengah-tengah keegoisan. Hah, memangnya apa saja kemampuanku selain membuat diri terlihat tolol di hadapan berpasang-pasang mata tak terkontrol?

Entah dunia mengerikan mana yang akhirnya mampu sedikit kupahami ini. Alih-alih membuatku ingin membuka diri, semakin ke ujung kesimpulan yang kudapat hanya berbentuk pikiran "Semua ini tidak ada gunanya" dan aku jadi ingin membangun tembok yang lebih tinggi, menarik diri, dan fokus pada diriku sendiri saja.

Persetan dengan sosialisasi. Enyahkan saja relasi. Kalau mati kubur dirimu sendiri.

Ibu, Bapak, maafkan anakmu yang sepanjang waktu ini bukannya membenahi diri malah memperendah kualitas diri.

(061022)

AsiaOnde histórias criam vida. Descubra agora