Dua Puluh Tiga

27.2K 2.1K 149
                                    

Melosa

Setelah tiga hari tidak masuk kerja, aku kembali bekerja dengan mengenakan pakaian seadanya. Aku belum kembali ke rumah Eryx untuk membereskan pakaianku, sibuk mengurus perceraian dan mencari pengacara untuk mengurus perceraianku.

Jeff menatapku khawatir ketika ia melihat wajahku lagi.

"Lo ke mana tiga hari ini?" tanyanya.

Aku menatapnya sekilas, tidak membalas dan menyalakan komputerku. Berkas di mejaku bersih, mungkin tugasku digantikan oleh sekretaris lain yang ditunjuk Eryx.

"Sa?" Jeff kembali mengajakku bicara.

"Sorry. Gue usahain ini nggak akan terjadi lagi," sahutku tanpa benar-benar menjawab pertanyaannya. "Apa aja yang keteteran sama gue?"

Aku membuka laciku untuk mencari berkas-berkas yang mungkin belum selesai. Namun, Jeff kembali memanggilku.

"Sa, please. Jangan kayak gini," katanya memelas.

Memangnya, seperti apa ia mau aku bersikap? Tertawa bahagia? Menari atau melompat-lompat senang setelah semua ini? Bukankah, setengah dari beban hatiku bersumber darinya dan tunangannya juga? Aku menujukan pandanganku padanya, menarik napas panjang.

"Bisa jangan campurin urusan kerjaan dan urusan pribadi?" tanyaku tenang tapi tegas.

Jeff membuka mulutnya, kehilangan kata-kata dan kembali diam. Lalu, ia berhenti mengajakku bicara setelahnya. Aku kembali bekerja seperti biasanya, bersikap seolah tidak terjadi apa pun. Seolah tiga hari kemarin yang kujalani tak terasa seperti neraka yang menghancurkan separuh jiwaku. Lagi pula, aku memang sudah menjadi puing. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Pintu ruangan terbuka saat aku sudah tenggelam dalam pekerjaanku. Kulihat Kaia masuk ke dalam ruangan, menatap ke arahku dengan ekspresi yang campur aduk. Aku mengabaikannya, kembali mengerjakan revisi proposal milik Jeff.

"Sa," lirih Kaia pelan saat ia berada di depan mejaku. "Lo ke mana aja tiga hari ini?"

"Bolos," jawabku singkat, dengan jari menari-nari di atas keyboard.

"Gue khawatir, Sa," katanya.

Aku mengabaikannya, membekukan hatiku supaya tidak merasa nyeri. Aku sudah hancur dan runtuh berkali-kali, membuatku lelah merasakan sakit.

"Gue minta maaf, Sa. Gue serius ngomong begitu ke Eryx karena emosi," jelasnya dengan suara bergetar. "Maaf, Sa."

Aku memejamkan mataku sejenak, menarik napas panjang dan menatap wajah Kaia dengan tatapan yang sebisanya tampak dingin dan tak peduli. Walau aku ingin menampar wajahnya dan meneriakinya, apa yang bisa kulakukan? Aku tidak punya kuasa itu, meski aku berhak untuk melakukannya. Kesedihan dan kemarahan yang bergumul di hatiku sudah terlalu pekat untuk kubuang. Aku hanya bisa merasa lelah sendiri setelah semua yang terjadi.

"Terserah lo mau ngapain sama Eryx. Bukan urusan gue," sahutku dengan suara terdengar kasar. "Kalau nggak ada yang penting buat diomongin, tolong pergi. Jangan ganggu gue kerja."

Reaksiku membuat Kaia meneteskan air matanya. Hal itu sedikit menyulut kemarahanku. Punya hak apa ia untuk menangis di depanku? Aku mengkertakan gigi, tidak mempedulikannya lagi, lalu menatap ke arah komputer untuk melanjutkan pekerjaanku. Namun, pintu ruangan Jeff kembali terbuka. Dan kali ini, sosok Eryx yang kudapati.

Seperti yang sering kulihat, ia tampak rapi dan selalu tampan. Hatiku teriris lagi saat melihat wajahnya. Ia menatapku sekilas, kelihatan sedikit terkejut saat melihat Kaia. Sementara, Kaia melangkah mundur dan memilih menghindari Eryx. Jeff membawa Kaia keluar, sementara Eryx mendekatiku.

Single WifeTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon