Tiga Belas

19.3K 1.8K 37
                                    

Melosa

"Bukannya, kamu harusnya masih istirahat? Nggak bulan madu?"

Pertanyaan Alda membuatku menatapnya hampa. Alda benar. Aku harusnya masih beristirahat, mengingat lukaku masih belum sepenuhnya pulih. Selain itu, aku baru menikah dengan Eryx kemarin. Tidak banyak yang tahu jika kami sudah menikah. Aku yakin Eryx tidak memberi tahu siapapun. Alda kebetulan tahu karena aku yakin ia tidak sengaja mendengar dari Jeff. Lelaki itu kadang suka tidak sengaja membocorkan sesuatu.

Terhitung kurang dari seminggu, ia berhasil mempersiapkan berkas pernikahan untuk kami tandatangani. Pemberkatan nikahku dengannya juga dilaksanakan secara tertutup dan sederhana. Hanya ada Yudi dan Belinda, juga Jeff dan Kaia. Aku bahkan tidak mengenakan gaun pengantin, karena aku menolak mengenakannya. Untuk apa tampil cantik? Cantik pun, tidak akan membuat Eryx mencintaiku.

Hari ini bahkan baru hari keempat aku keluar dari rumah sakit. Namun, aku tidak mau berada di rumah. Rasanya sesak dan mencekik. Bahkan mengingat tatapan yang diberikan Eryx pada Kaia di hari pemberkatan pernikahan kami membuatku ingin mati saja. Ia kelihatan sangat patah hati, seolah aku memaksanya menikahiku. Padahal, ia yang menginginkan semua ini.

"Nikahnya aja nggak normal, gimana mau bulan madu?" sahutku sambil beranjak pergi dari pantry.

Siapa yang dipaksa menikah karena dipukuli preman? Hanya aku. Yudi berpikir melakukannya untuk melindungiku. Benar, ia memang melindungiku, tetapi juga menghancurkan hatiku sekaligus.

"Kamu baik-baik saja?" Suara Alda menghentikan langkahku.

Aku tidak berani menatapnya, atau menjawab pertanyaannya. Aku tidak pernah merasa selemah ini. Namun, hanya Alda yang menanyakan padaku apakah aku baik-baik saja dengan nada yang sungguhan terdengar khawatir. Itu membuatku menyadari jika aku sebenarnya jauh dari kata baik-baik saja. Aku langsung melangkah lebar meninggalkannya menuju tempatku biasa bersembunyi. Lorong gedung dekat ruang pertemuan.

Aku tidak biasanya menangis, tetapi aku sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang terus menyiksaku. Bahkan, aku masih sanggup menahan air mataku kemarin, tetapi hari ini, aku tidak bisa menahannya lagi. Kututup wajahku dengan telapak tangan, menangis dalam diam hingga seluruh tubuhku gemetar. Aku sangat membenci perasaan ini.

Aku bertanya-tanya apakah aku memang tidak seberuntung itu? Apakah aku tidak boleh merasa tenang? Aku tidak mengharapkan kebahagiaan. Yang kuinginkan hanyalah merasa tenang, merasa bosan setiap hari. Aku tidak mau jatuh cinta seperti ini, tidak mau terluka dan kesakitan seperti ini. Memangnya kehidupan yang membosankan seperti itu tidak boleh kujalani?

Aku tidak menyangka jika hidupku yang sudah hancur bisa lebih hancur lagi. Aku menarik napas panjang, mengusap air mataku dan menenangkan diri. Seluruh tubuhku masih gemetar, sesekali kurasakan air mataku masih menetes. Namun, setidaknya tenggorokanku tidak lagi merasa tercekik. Sial, kenapa aku selemah ini?

"Tolol," makiku pada diri sendiri, berbalik hendak menuju toilet untuk membasuh wajahku.

Namun, langkahku terhenti dan tubuhku membatu. Aku melihat Kaia dan juga Eryx yang berdiri berdampingan, sekitar tiga meter dari tempatku berdiri. Kaia menatapku khawatir, sementara kulihat tatapan Eryx yang tertuju padaku mengandung beribu arti. Seolah ia khawatir padaku, tetapi juga merasa kasihan dan bersalah. Aku merapatkan bibirku. Berapa lama mereka berdiri di sana?

Sedikit berdeham, aku mengusap wajahku kasar dan memutuskan untuk melangkah ke arah mereka. "Kenapa? Mau nyari Jeff?"

Kaia atau pun Eryx tidak langsung menjawabku. Mereka masih menatapku aneh. Tidak heran, karena aku tidak pernah sekali pun menangis di hadapan mereka.

"Kamu nggak istirahat?" tanya Eryx membuatku meliriknya datar. Aku mengabaikan pertanyaannya, beralih pada Kaia.

"Jeff lagi makan di kafetaria. Akhir pekan nanti jangan bikin masalah, gue nggak bisa ngurus lo atau Jeff," kataku yang entah kenapa terdengar parau.

Aku berdeham lagi, berusaha bersikap normal dan memasang wajah datar sambil melewati keduanya dengan langkah secepat yang kubisa. Mereka tidak seharusnya melihatku. Aku menarik napas panjang saat berada di dalam toilet, membasuh wajahku kasar sampai bekas lebam di wajahku terasa sakit karena aku terlalu kuat menekannya. Aku segera mengeringkan wajahku sebelum Kaia masuk ke dalam toilet untuk menyusulku.

Dan seperti yang sudah bisa kutebak, Kaia melangkah masuk sambil menatapku yang mengeringkan wajah. Aku meliriknya datar.

"Lo kenapa?" tanyanya Kaia pelan dengan nada cemas.

"Kenapa apanya?" sahutku, pura-pura tidak mengerti.

"Lo kenapa nangis, Melosa?" tanyanya lagi, memperjelas pertanyaannya. "Gue nggak pernah lihat lo sampai kayak gitu. Ada apa?"

Aku menarik napas. "Lo lihat apa, emangnya?"

"Semua, Sa! Gue lihat semua dari awal sampai akhir!"

Aku menatap Kaia. Ah, apa yang akan ia katakan jika tahu alasanku menangis? Ia adalah penyebab utamanya. Aku ingin berteriak dan memakinya untuk bernapas, tetapi apakah semua ini salahnya? Bukan ia yang memaksa Eryx menikahiku. Aku hanya memberi senyum malas dan menggeleng.

"Nggak apa-apa. Cuma stress aja," balasku melangkah keluar dari toilet untuk menghindarinya.

Namun, di luar toilet, aku lagi-lagi bertemu dengan Eryx. Ia tidak mengatakan apa-apa saat melihatku. Aku sendiri masih menghindarinya sejak ia menciumku di dalam kamarnya. Entahlah. Untuk apa menciumku jika ia masih mencintai Kaia? Aku melengos, ingin segera meninggalkannya. Namun, ia menarik tanganku dan menggenggamnya erat.

Kaia ikut keluar dari toilet, membuatku menatapnya sejenak seolah berharap jika ia akan bersuara dan menyuruh Eryx melepaskanku. Namun, ia hanya memandangi kami bergantian dan memutuskan untuk meninggalkanku dengan Eryx. Kulirik Eryx yang alih-alih menatap kepergian Kaia seperti biasanya, malah menatapku lekat.

"Kenapa? Sakit?" tanyanya dengan nada rendah.

"Nggak," jawabku tanpa menatap wajahnya. Aku menarik tanganku. "Saya harus kerja."

Namun, Eryx tidak mendengarkanku, atau melepaskan tanganku. Ia menggenggam tanganku lebih erat, membawaku menjauh dari orang-orang menuju atap. Aku terlalu lelah untuk memberontak atau meneriakinya supaya melepaskanku. Yang kulakukan hanya mengikutinya, membiarkannya memelukku erat sampai kupikir tubuhku akan remuk dibuatnya.

"Jangan tekan bahu saya," bisikku hampir tak bisa bernapas.

Eryx mengendurkan pelukannya, mengelus kepalaku dengan lembut. "Sakit?"

Ia kembali mengulang pertanyaan yang sama dan aku kembali menjawab dengan kebohongan yang sama. "Nggak."

"Jangan bohong," bisiknya lirih.

Aku tak menyahut. Lelah sendiri karena terus berbohong. Aku sakit. Aku tidak baik-baik saja. Namun, aku tak mau memberitahukannya pada siapa pun. Tidak penting bagi orang lain untuk mengetahuinya.

"Jangan ditahan sendiri. Bilang sama saya," katanya lagi, berusaha keras membuatku mempercayainya.

Aku menarik napas, diam-diam menghirup aroma sandalwood dan maskulin dari tubuh Eryx. Hatiku masih terasa perih, seperti tercabik. Namun, pelukan Eryx seolah membantuku menahan rasa perih itu. Walau begitu, aku tetap merasa seolah ingin menangis.

Tanganku terangkat, membalas pelukannya dengan ragu. Hingga akhirnya aku membiarkan hatiku membuat keputusan. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya berada dalam dekapan Eryx. Aku tidak seharusnya mempercayai Eryx, tetapi hatiku ingin aku melakukannya.

Aku tahu, suatu saat nanti aku akan terluka lagi. Akan tetapi, kali ini saja, aku ingin mengikuti keinginanku. Kali ini saja, aku ingin mempercayai Eryx. Entah apa pun hasilnya, aku tidak mau memikirkannya lagi.

Single WifeWhere stories live. Discover now