Delapan

19.1K 1.8K 18
                                    

Melosa

Sebagai hasil dari tindakan Eryx, aku dipaksa untuk melakukan konsultasi dengan psikiater. Aku mengalami burnout syndrome dan diminta supaya untuk beristirahat karena bukan kondisi mentalku yang berbahaya, tetapi tubuhku. Ya, walau mentalku juga tidak terlalu baik-baik saja kalau menurut psikiater. Sehari setelah konsultasi, aku demam. Untungnya, aku sudah diwajibkan beristirahat hari itu. Posisiku sementara diganti oleh sekretaris Yudi yang lain.

Aku akhirnya harus beristirahat selama seminggu. Tidak tahu bagus atau tidak, tetapi aku merasa sedikit lega dan tenang. Sangat tenang malah, karena Yudi melarang Jeff atau Kaia mengunjungiku begitu tahu jika sumber tekananku adalah kedua orang itu. Mungkin, saat ini mereka sedang disidang oleh Yudi. Atau mungkin saja Yudi masih membiarkan keduanya.

Aku tidak peduli. Aku bergelung di ranjangku, menatap jam dinding di apartemenku yang menunjukkan pukul tiga sore. Setelah dibiarkan terjun di dunia kerja, aku memutuskan keluar dari rumah Yudi, yang tentunya dengan penuh perjuangan dan kesulitan karena Yudi tidak berniat membiarkanku tinggal sendiri. Namun, aku meyakinkannya dengan alasan aku ingin punya pacar. Yang sialnya malah membuatku semakin sulit mendapat izin. Sampai akhirnya, ia membiarkanku tinggal di apartemen sendiri dengan syarat aku harus tinggal di apartemen yang ia belikan.

Apartemen yang ia berikan cukup luas, memiliki ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Ada dua kamar yang salah satu kamarnya biasa digunakan Kaia atau Jeff jika mereka menginap. Kamarku cukup luas, dengan tempat tidur ukuran queen di tengah ruangan, lemari geser warna krem di sisi kiri ranjang, nakas di sisi kanan, meja untuk membaca di dekat nakas dan juga AC di atas meja belajar. Dindingnya di cat putih, karena warna lain membuatku sakit kepala. Jam dinding kuletakkan tepat menghadap ke ranjangku, supaya aku bisa melihat waktu dengan mudah.

Aku mengerang pelan, kelaparan dan juga bosan. Kuputuskan untuk mengambil dompetku, berjalan kaki menuju minimarket terdekat untuk membeli makanan. Aku memutuskan untuk membeli nasi kepal, mi instan dalam stirofoam, sedikit camilan dan minuman dingin. Setelah menyeduh mi instan, aku berjalan menuju taman kota sendirian, duduk di bangku yang sama dengan bangku biasa aku duduk.

Sudah lama sejak aku terakhir datang ke sini. Mungkin, empat tahun yang lalu. Aku mengaduk mi instanku, membuka nasi kepal dan mengunyahnya malas-malasa sambil menikmati sejuknya angin sore yang berhembus. Aku sedikit bersyukur Yudi membelikan apartemen yang dekat dengan taman kota, mengetahui jika aku suka datang ke tempat ini untuk menyendiri. Walau kini, aku tidak pernah lagi datang kemari karena sangat sibuk.

Aku menghabiskan makananku, meneguk minumanku sambil menatap ke sekitar. Biasanya, saat aku duduk di sini, selalu ada anak yang menghampiriku, sekedar memanggilku untuk memastikan jika aku masih hidup. Aku tersenyum tipis menyadari jika mungkin ia sudah dewasa sekarang.

"Kakak?"

Aku baru saja memikirkannya, tetapi anak itu sudah muncul. Naya menatapku dengan mata membulat, membuat matanya yang sudah besar makin besar. Ia tumbuh tinggi, lebih tinggi dariku dan kelihatan sangat manis. Pipinya masih kelihatan menggemaskan seperti dulu. Tubuhnya berisi, kelihatan bagus di balik kemeja dan rok selututnya.

"Kakak masih hidup?" tanyanya dengan nada yang terdengar tak percaya dan senang.

"Sayangnya, iya," jawabku sambil membuka camilanku.

"Kakak ngapain ke sini? Nyari Naya?" Ia tersenyum lebar, mendekat padaku dan duduk tepat di sebelahku. Sangat dekat denganku membuatku harus beringsut menjauh.

Single WifeWhere stories live. Discover now