14. DUA PERAN

4 1 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen! Rekomendasiin cerita ini ke temen-temen kalian🤗

-

-

-

Satu malam yang membuat Andira tak bisa tidur itu, selalu menghantui pikirannya. Nayla, Jelia dan George. Ketiga orang itu selalu mengganggu pikirannya, ia merasa jijik pada George, lalu merasa iba pada Jelia dan Nayla.

Andai dirinya mempunyai kekuatan tembus pandang di mata orang lain, maka ia akan memberitahukan hal ini pada kedua wanita penting di keluarga George. Ia tak sanggup jika harus melihat wajah-wajah kecewa itu, apalagi Nayla yang akan mengikuti perlombaan mewakili sekolah, kefokusan gadis itu akan terganggu.

Jika ia terus menyembunyikan ini, kemungkinan besar masalah yang tak disangka-sangka akan tiba. Namun jika ia memberitahukan hal ini, ia takut keduanya tak percaya dan malah membenci dirinya, terutama jika bukti yang ia miliki kurang kuat untuk bisa meyakinkan. Masalahnya saja belum selesai, sekarang harus mengurusi masalah orang lain juga.

"Duhh, makin nambah aja nih, beban hidup gue," celetuk Andira.

"Kak!" Andira melirik pintu kamarnya, suara yang sangat familiar itu membuatnya kaget.

"Kaka!"

Degh

Detak jantung Andira semakin tak karuan, ia segera turun dari ranjangnya. Menghampiri pintu kamar dengan perasaan campur aduk, ia tak salah mendengarkan? Panggilan Kaka, panggilan yang sebenarnya belum ingin ia terima. Ia belum sempat menerima semua hal tentang Elvan, did he run out of time?

Tok tok tok

"Andira! Buka pintunya, Mama mau jelasin sesuatu ke kamu." Suara Gina terdengar jelas masuk ke dalam gendang telinganya. Berusaha menetralkan degup jangungnya, perlahan tangannya meraih kenop pintu.

"KAKA!" Elvan memeluk Andira erat begitu pintu terbuka, sedangkan Andira sendiri diam mematung di tempat.

"Andira, Mama mau bicara sama kamu empat mata, kamu punya waktu 'kan?" tanya Gina pada Andira yang masih diam tak berkutik. "Andira," panggil Gina yang merasa tak ada respon apapun dari anak tunggalnya.

Menghela nafas berat, karena tau betul apa yang sedang dirasakan anaknya sekarang, Gina menepuk kedua pundak gadis di depannya. "Kenapa, Ma?" tanya Andira sedikit terkejut.

"Mama mau bicara empat mata sama kamu," jawab Gina mengulang ucapannya.

Andira mengangguk, kemudian melepaskan pelukan Elvan pada pahanya. "Kamu tunggu di kamar, ya. Aku mau bicara sama Mama dulu." Perlahan pelukan itu mengendur.

"Iya, Ka." Sekali lagi perasaan Andira dibuat tambah gelisah. Ia segera meninggalkan Elvan dan Gina. Beranjak menuju taman halaman belakang rumah, karena itu tempat biasa di mana ia berbincang empat mata dengan siapapun.

Sesampainya di taman, Andira memejamkan matanya, menghirup udara pagi yang belum sepenuhnya terkontaminasi polusi. Menenangkan hari serta pikirannya, perlahan badannya merosot dan duduk di atas rumput tanpa alas.

Suasana yang sepi dengan suara pepohonan yang tertiup angin membuatnya cepat merasa tenang. Di komplek perumahan yang ia tempati, jarang sekali dilewati kendaraan-kendaraan berisik, membuat Andira semakin menyukai rumahnya ini. Rumah mewah yang berada di ujung komplek dengan tempat yang lumayan sepi, membuat rumah ini semakin cocok untuk type orang sepertinya.

"Besok ada sidang pengadopsian Elvan, Mama tau kamu nggak bakal mau ikut. Tapi Mama cuman pengen ngasih tau doang." Ucapan Gina yang berdiri di belakang Andira, membuat gadis itu tersenyum tipis.

Ineffable [TERBIT]Where stories live. Discover now