SATU

155 21 24
                                    

Selamat membaca, jangan lupa vote, komen dan share, ya. Terima kasih sudah vote dan komen di bab sebelumnya, I appreciate it.♥️

Setelah lulus kuliah aku pergi merantau ke Jakarta, kata banyak orang, hidup nggak akan seru kalau tetap tinggal di kampung sendiri.

Setelah meminta restu sama Abah juga Umi akhirnya aku meninggalkan mereka bersama adikku Lily. Sebenernya aku nggak tega, tapi aku melakukan itu demi masa depan kami yang lebih baik.

Kereta yang membawaku akhirnya berhenti di Stasiun Senen, segera aku menggeret koper berukuran 22 inch milikku keluar gerbong kereta ekonomi Matarmaja. Perjalanan selama hampir enam belas jam membuat tubuhku terasa ngilu.

Sebenernya lebih enak naik kereta eksekutif atau bisnis, cuma harganya cukup tinggi, harga segitu cukup untuk aku makan selama beberapa minggu ke depan.

Hal pertama yang aku singahi adalah tempat makanan siap saji, menatap menu juga harga yang sudah tertera di papan di atas kepalaku. Aku menimang makanan yang cukup membuatku kenyang hingga pagi nanti karena salah satu temanku baru bisa menjemput jam enam nanti.

Sebenernya bisa saja aku memintanya menjemput saat ini juga, tapi melihat jam sudah menunjukan pukul satu dini hari membuatku nggak tega menghubunginya. Aku tahu diri untuk ngga melakukan itu.

Nampan berisi ayam goreng, nasi juga es teh lemon sudah aku bawa ke meja dan segera memakannya. Bekal yang Umi buatkan ternyata di buang oleh ibu-ibu di depanku, ibu itu kira plastik yang kugantung adalah sampah dan dia memberikannya pada petugas kebersihan. Padahal itu bekal satu-satunya yang kubawa, memang sih Umi membawakan bekal menggunakan kertas nasi karena aku berniat langsung membuangnya setelah selesai makan.

Rasanya pengin nangis melihat bungkusan berisi nasi, ikan, sambal juga tempe yang Umi buatkan untukku terbuang sia-sia. Apalagi melihat perjuangan Abah menangkap ikan di salah satu pemancingan di dekat rumah.

Aku mengehela napas lalu terdengar lagu Call Me Baby dari Exo mengalun dari ponselku, tertera nama Bang Jefri di layar, segera aku menekan bulatan hijau lalu menaruh di telinga.

"Gue udah di parkiran, lo dimana?" Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan lelaki di seberang sana.

"Hah? Abang di sini? Gue lagi makan," kataku nggak percaya, padahal aku nggak bilang sampai Jakarta jam satu pagi.

"Gue ke sana." Setelah mengatakan itu dia mematikan ponsel. Aku menatap layar yang menampilkan gambar salah satu artis Korea kesukaanku. Lelaki dengan sepeda berwarna hijau, berbaju krem, celana jins, sepatu putih juga headphone yang dia pakai di telinga.

"Sori, lama," katanya dengan napas terengah. Aku yakin dia tadi lari ke sini. Bisa dilihat dari keringat yang mengalir di dahinya.

"Abang kenapa ke sini?" tanyaku membuat dia berdecak.

"Gue jemput lo lah, Bumi!" Sumpah aku nggak suka dia memanggilku itu. Walaupun memang nama tengahku, tapi aneh kalau dia yang menyebutnya.

"Sintia, Bang!" Aku mengoreksi, "Mau makan?" aku menatapnya dan di tolak oleh lelaki itu.

"Masih nggak makan fastfood?" tanyaku dan di angguki olehnya. Dia pernah bilang beratnya akan cepet naik kalau mengonsumsi makanan siap saji. Padahal badan Bang Jefri tetap sama saja seperti dulu, cuma sekarang lebih bagus dan atletis sih.

"Makan di mobil aja," ajak Bang Jefri lalu menarik koper milikku. Baru saja aku membuka kertas yang membungkus nasi juga mengambil saus.

Aku menarik napas panjang, tadi aja nggak usah bilang kalau aku berada di sini. Biarkan saja dia mencari sendiri. "Nanti mobilnya kotor," kataku sambil menyejajarkan langkahnya.

NAWASENA [TAMAT]Where stories live. Discover now