38B | Perlahan Menyembuhkan

Start from the beginning
                                    

"We can see it, can't we? Pak Bara nikahin kamu bukan sekadar buat tanggung jawab aja."

"Kadang emang pikiran manusia itu egois kok, Nay. Mangkanya kita butuh masukan dari orang lain yang bisa liat dari sudut pandang yang berbeda. Saranku, kamu jangan ngerasa aman berlindung di balik Pak Bara yang ngertiin kamu lah, itu lah. Kalo kamu udah ngerasa sembuh, ya why not nyoba berhubungan lagi?"

Naqiya menunduk memikirkan segala perkataan sahabatnya yang sangat masuk akal ini. Bara sudah menerima kondisinya, sekarang apakah dirinya ingin sembuh atau tidak itu keputusan Naqiya sendiri.

"Lain cerita kalo kamu emang mau menciptakan rumah tangga harmonis tanpa hubungan badan selamanya ya...hahaha..." Ledek Cantiya. "Kalo gitu tetep aja di zona nyaman kamu, jangan berusaha sembuh."

Kata-kata Cantiya memang menohok tapi benar adanya. Apakah bisa bahtera rumah tangga dijalankan tanpa hubungan suami istri di dalamnya?

"Ya emang seks dalam rumah tangga itu bukan segalanya," Ucap Cantiya to the point. "Tapi, pernikahan itu ibarat bunga. Emang banyak yang bikin dia mekar, tumbuh indah, salah satunya air. Taneman kalo nggak disiram air emang masih bisa bertahan, tapi paling lama berapa hari si, Nay? Lama-lama layu 'kan? Mau secantik apapun di luar."

"Ya air itu ibarat hubungan suami istri. Emang rumah tangga masih bisa hidup tanpa anu, tapi paling lama bertahan berapa lama? Risikonya sama kaya taneman tanpa air tadi, lama-lama pernikahanmu bisa layu."

Benar. Apakah Naqiya menikah hanya untuk membiarkan pernikahannya layu tak bersisa seperti tanaman malang itu? Sementara dalam pernikahan itu sendiri ada dua orang di dalamnya. Tidak bisa hanya salah satu yang berusaha mempertahankan.

"Mikirnya jangan disini," Ucap Cantiya lagi. "Pas kamu sendirian tuh renungin semuanya. Kalo sekarang, it's our time! Kapan lagi kamu bisa nginep sini."

Tentu, Naqiya mengangguk. Memang hal-hal seperti itu perlu direnungi sendiri lagi. "Kamu belum nikah loh, Can, tapi kenapa lancar banget ngasih wejangan pasutri..."

Cantiya tertawa terbahak, "Biasanya gitu, yang jomblo-jomblo gini malah mikirnya bisa rasional."

"Kalo gitu, aku mau curhat lagi," Ucap Naqiya, "Aku sempet ribut gara-gara pas Mas Bara pulang, aku rewel minta dateng ke henna party sepupu jauhku. Nggak tau kenapa ya jadi sering ribut."

"Serius?!" Tanya Cantiya dengan matanya yang melebar. "Kamu nggak kapok?!"

"Ayolah, Can. Nggak semua keluargaku seburuk itu kok. Lagian ini juga keluarga jauh, jadi nggak begitu kenal banget sama aku."

Cantiya berdecak dengan gelengan di kepalanya. "Sumpah ya, aku kalo jadi Pak Bara udah aku depak kamu dari rumah."

"Mas Bara tuh lama-lama toxic," Ucap Naqiya. "Nggak tau dari kapan tapi aku sadar Mas Bara lama-lama over posesif ke aku, Can."

"Nay, please deh," Cantiya mengusap wajahnya gusar. "Kamu nggak bisa ngerti Pak Bara karena kamu nggak pernah ngerasain hampir kehilangan orang yang kamu sayang."

Naqiya terdiam mendengarnya. Namun, Bara yang over posesif juga membuatnya tidak nyaman. Apakah dengan kata sayang artinya punya hak mengatur pergaulan pasangannya?

"Pak Bara udah ditahap disuruh milih harus nyelamatin nyawa istri atau bayinya loh, Nay. 'ATAU'! Bukan 'dan' lagi! Kalo nggak kamu yang wassalam ya bayi kamu," Ketus Cantiya. "Coba kamu mikir, apa gampang di posisi dia?"

"Can..." Naqiya yang keras kepala menggeleng. "Ini sepupuku cewek semua, Can. There'll be no Ali Ali lainnya."

Cantiya gusar sendiri mendengar sahabatnya itu. "Oke, aku tau kamu emang masih pengen bebas atau apalah," Ucap Cantiya. "Tapi kamu harus inget kalo kamu itu istri orang, kalo ada apa-apa bukan lagi kamu bertanggung jawab atas diri kamu sendiri."

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now