BAB 19

52 12 0
                                    

Firasatku mengenai pelatihan Hero Camp rupanya terbukti, olahraga membuat tubuhku mengalami dua titik ekstrem: kelaparan akut serta delay onset muscle sornes atau lebih dikenal dengan nyeri pasca berolahraga. Keduanya akan menjadi malapetaka jika aku salah menanganinya.

Aku selalu tahu bahwa setiap sel tubuh diciptakan Tuhan dengan program untuk bertahan hidup. Alarm berupa rasa lapar akut selalu menyala ketika energiku berkurang dan menuntutku untuk makan sebanyak jumlah energi yang hilang.

Sedangkan nyeriku pasca olahraga terjadi karena beradaptasi membentuk jaringan otot baru untuk memperbesar massa otot hingga kebugaranku meningkat, tapi jujur melewati fase ini sangat berat. Bertahan untuk tidak makan berlebih serta meyakinkan hati agar tetap berolahraga bukanlah hal yang mudah.

Apalagi ketika malam ini makanan menumpuk di depan mata sebab aku bertugas sebagai seksi konsumsi di perhelatan Cilegon Ethnic Carnival. Sebuah acara megah tahunan di Cilegon yang menampilkan tarian, pertunjukan budaya, kesenian, dan peragaan busana karnaval yang diperagakan oleh para model profesional.

Aku berdiri di gerbang Kantor Walikota, memberikan kotak-kotak makanan pada para model dan penampil yang telah selesai melakukan pertunjukan. Ponselku bergetar di antara rasa lapar, nyeri, dan iri. Nama Raza muncul pada layar diikuti dengan sebuah pesan singkat.

Raza : Gmn nyerinya?

Aku : He2 msh sakit, tp lumayan ketolong pk salepnya. Makasi y salepnya.

Raza : Ur welcome, tapi jgn makan sembarangan walau lg laper2nya.

Aku : Iya, ini jg ngemil apel doang. Aku kerja dulu ya.

Raza : Loh ko mlm2 masih kerja?

Aku : Iya ada tugas jd panitia di Cilegon Ethnic Carnival.

Raza : Oh ya udah, met kerja. Besok jgn males latihan. Telat push up 50 x. jgn bikin makanan yg aneh lg rasanya.

Aku : Ha2 siap!

Bibirku selalu merekah setiap berbicara dengan Dokter Bawel ini, meskipun pilihan makananku, jam tidur, jadwal olahraga, dan semua hal tentang diriku selalu ia kritik, tapi omelannya itu justru mampu mengalihkan pikiranku dari semua kerumitan hidup. Aku seperti menemukan sosok yang dapat diandalkan.

Kugigit sepotong apel dan putih telur dari dalam kotak bekal sambil merasa iri pada model-model bertubuh ideal yang berlenggak-lenggok dengan pakaian karnaval beraneka bentuk dan warna di jalan protokol Kantor Walikota Cilegon yang dijadikan jalur catwalk. Sesekali aku memandang para biduan dan pemusik di atas panggung depan DPRD yang berhadapan langsung dengan gedung Walikota.

Setiap fase hidupku hanya ada kata kegemukan. Aku lahir sebagai bayi dengan berat 4,8 kilo dari ibu yang rupanya mengidap diabetes. Tumbuh sebagai anak kecil gendut dengan pipi dan perut bulat. Ketika remaja lain mekar bak mawar, aku merekah bak rafflesia arnoldii, dan sampai sekarang aku masih saja gembrot.

Seumur hidup belum pernah kumiliki tubuh seindah model-model itu. Pinggang ramping. Betis panjang kecil nan indah. Lengan kencang tak bergelambir dan tatapan penuh keyakinan ketika berjalan dengan langkah percaya diri.

"Uwoy, eta bengeut kaya orgil aja, sebentar cengar-cengir, sebentar melotot, sugan teh pemeran antagonis sinetron! Hayoh dapet chat dari siapa? Cowok?" Teh Ice Juice, senior yang energinya tidak pernah habis menggaplok punggungku.

"Sakit Teh!" kuusap bagian punggung yang sakit, "Kepo ya kepo?"

"Wueh, jadi arek rahasia-rahasiaan sekarang?" Teh Ice berkacak pinggang dengan raut pura-pura marah. Namun, matanya tetap memancarkan sorot penasaran akut.

EAT MY BELLY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang