BAB 7 Part 2

88 12 0
                                    

Sekali lagi pelayan berturban meniup peluit yang dikalungkan di dadanya.

Tidak lama kemudian, sekelompok pemusik masuk ke dalam ruangan kami, lengkap dengan alat musik sitar, sarod, tambura, tabla, vina. Mereka membentuk formasi dihadapanku. Lalu, empat orang penari, dan seorang wanita yang mengenakan sari India merah nan gemerlap, turut masuk ke dalam ruangan.

Seketika musik pun dimainkan. Wanita bersari merah langsung melantunkan lagu India bernada tinggi nan legendaris, Bole Chudiyan. Suara sopran wanita itu seakan menembus langit.

Dua penari wanita meliuk-liuk menggoyangkan pinggul dibalik kain sari. Dua penari pria koprol dan meloncat ke segala arah, menggoyangkan dada-dada bidang mereka layaknya Shah Rukh Khan. Dua wanita lain menyusul masuk ruangan dan langsung mengalungkan untaian bunga padaku dan Jordi, lalu mereka memutar nampan di depan wajah kami. Nampan itu berisi lilin, bubuk merah dalam sebuah cepuk bulat, serta kelopak bunga berwarna-warni.

Setelahnya, kedua wanita itu mundur dan mengambil sebuah gulungan kain berukuran besar, kemudian serta-merta gulungan itu mereka bentangkan di hadapanku. Rupanya itu adalah sebuah spanduk.

Spanduk bertuliskan: Marry me, Ayang Andin!

Seketika otakku membeku, kosong melompong. Jantungku terjun bebas ke dalam sumur. Andin? Siapa Andin ...?

Rasanya seluruh ototku mengeras. Api membakar dadaku. Para penari dan pemusik terus melakukan pertunjukan. Namun, hatiku terlanjur bergolak. Kulepaskan kalung bunga dan kulemparkan ke lantai. Ingin kuhancurkan semua hal yang ada di hadapan. Seketika tatapanku tertuju pada Jordi yang membatu. Wajahnya sepucat mendoan. Kepalanya menggeleng begitu melihat bara api di mataku.

Seketika semua orang terdiam begitu melihat reaksiku dan Jordi. Mereka kebingungan dan saling bertatapan satu sama lain. Tidak lama kemudian seorang laki-laki muda berpakaian India serba biru dan necis, berlari tergopoh-gopoh ke dalam ruanganku. Napasnya hampir habis ketika ia berkata, "Salah tempat, bukan di sini lamarannya, tapi ruangan sebelah!"

Aku dan Jordi saling memandang ketika para penampil terburu-buru keluar dari ruangan vip kami sambil terus-menerus menunduk meminta maaf. Pelayan yang meniupkan peluit keluar paling terakhir, ia menunduk sambil malu-malu berkata, "Maafkan kami atas kesalahan ini." Lalu keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Beberapa menit setelahnya, aku bisa mendengar irama musik yang sama dari ruang sebelah.

Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak dengan perasaan teriris-iris. Bukan lamaran untukku! Bukan untuk aku! Lalu kapan dan di mana lamaranku?

"Bisa-bisanya mereka sampai salah ruangan. Hampir saja terjadi perang dunia ketiga. Apalagi mereka pergi begitu saja dengan permintaan maaf asal-asalan! Tidak profesional!" Jordi menggerutu sambil merogoh saku celana bagian belakangnya kembali. Tentu saja harapanku bangkit lagi begitu menyaksikan adegan yang dilakukan Jordi. Mungkin gaya melamar Jordi bukan semeriah tadi, tapi lebih tenang dengan hanya berlutut memberikan cincin.

Wajah Jordi berseri-seri begitu berhasil mendapatkan benda dari saku celananya. Ia tampak menarik benda itu, kemudian menyeka wajahnya ....

Tunggu, menyeka?

Kuperhatikan baik-baik benda di tangan Jordi. Berwarna putih. Bukan kotak cincin! Itu hanya sapu tangan!

Bukan cincin ... jadi ... aku tidak dilamar? Kenapa aku merasa sangat sedih seperti ini?

"Ayang, maaf tadi pembicaraan kita harus terpotong hal aneh. Sekarang saatnya kita bicara serius. Ayang bawa uangnya?" Jordi berpindah duduk menjadi lebih dekat denganku, sehingga sekarang kami bersisian.

"Iya, uangnya ada di ransel ini."

"Bagus. Aku bawa brosur-brosur perumahan. Tunggu sebentar." Jordi mengeluarkan tujuh lembar brosur perumahan yang berbeda, tapi ia tidak langsung memberikannya padaku. Jordi justru membuka ponselnya begitu melihat sebuat notifikasi. Satu menit, dua menit, hampir lima belas menit, Jordi belum juga bersuara, ia masih larut memainkan ponselnya.

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now