BAB 15

65 11 0
                                    


Pernah dengar ungkapan mobil mencerminkan pemiliknya? Harus kukatakan mobil sedan serba putih Raza mencerminkan kepribadiannya. Oke, harus kukatakan terlampau putih, sebab interior maupun eksterior mobil ini seluruhnya berwarna putih, bahkan karpet mobil pun berwarna putih. Mungkinkah dia mencuci karpetnya setiap hari? Pokoknya semua terlihat bersih tanpa amoeba ngesot-ngesot. Wangi dan empuk, sampai-sampai aku harus membuka sepatu untuk masuk mobil karena takut meninggalkan jejak sepatu. Namun, membuka sepatu adalah kesalahan besar, sebab aku malah meninggalkan cap ceker di karpetnya.

"Hei, pakai saja sepatumu! Memangnya lagi masuk masjid?" Raza menunjuk sepatuku sembari meletakkan tasku di kursi belakang. Dengan cepat aku memakai sepatu kembali.

Aku masih mengingat perasaan ketika dokter bertubuh tinggi itu membuka pintu mobil untukku tadi. Saat itu rasanya seperti sedang jadi bintang iklan pengharum mobil. Angin bertiup kencang menerpa rambutku diikuti sorotan cahaya Ilahi, serta aroma kesegaran laut yang memanjakan hidung. Seharum dan sesegar itulah mobil ini.

Kata lain yang bisa menggambarkan mobil dan pemiliknya adalah Mister Healthy and Clean Addict, karena aku bisa melihat botol-botol hand sanitizer di setiap ruang kosong mobil ini. Entah itu sela-sela ruang penyimpanan pintu, dasbor atau di celah penyimpanan antara kursi pengemudi dan penumpang. Bahkan ada dua kotak berisi selusin botol hand sanitizer diletakkan di kursi belakang. Aku sangat terkejut ketika melihat Raza menyemprot cairan antiseptik ke tangannya seperti orang kesurupan. Mungkin lebih tepatnya bukan sekadar menyemprot, tapi Raza si Maniak Kebersihan terlihat tampak ingin mandi hand sanitizer.

Setelah puas membersihkan tangan, Raza mulai mengemudi. Caranya menyetir sangat lembut, halus, dan sempurna. Saat bertemu polisi tidur pun tidak terasa guncangan sama sekali. Jauh dari perlakuan ojek ketika berhadapan dengan gejlugan. Sudah pasti bikin encok. Aku bahkan harus menahan keinginan untuk berguling-guling di dalam mobil meskipun kendaraan ini tidak kalah nyaman dari kasur, hanya karena ada hal lebih penting yang harus kutanyakan.

"Jadi, kenapa Dokter Raza tiba-tiba ada di depan rumah Jordi?" kutatap wajah si Dokter tanpa berkedip untuk menunjukkan betapa aku membutuhkan jawaban darinya.

"Rumahku juga di perumahan ini." Jawaban Raza sangat singkat, padat, dan jelas.

"Oh. Jadi kenapa bilang urusanku itu urusanmu juga?"

"Ya tentu saja. Kalau urusan berantemmu itu tidak selesai, aku tidak bisa lewat dan pulang! Jadi urusanmu itu urusanku juga." Alis Raza mengkerut ketika membelokkan mobil ke jalan menanjak.

"Eh kita mau ke mana? Ini bukan jalan pulang!"

"Ke rumahku. Tenang saja, aku tinggal sendirian, jadi kau tidak perlu malu."

"Tunggu-tunggu, almarhumah ibuku bilang, pria dan wanita tidak boleh berdua-duaan, yang ketiga setan! Aku tidak mau ke rumahmu!" Tanganku menyilang di depan dada. Aku harus melindungi tubuh dan jiwaku. Aku harus menolak dengan tegas. Meskipun pria ini sangat tertarik padaku, tapi perkara berdua-duaan di rumahnya bukankah terlalu cepat? Pacaran saja belum, apalagi menikah, dia sudah ingin berdua-duaan denganku? Tidak, aku wanita baik-baik. Apa dia pikir aku ini mudah dibujuk dengan wajah tampan?

Raza berdecak kesal, "Siapa yang mau berdua-duaan denganmu! Mukamu itu loh! Berantakan, bekas cakar di mana-mana. Memangnya kau tidak mau mengobati lukamu?"

Duh Gusti ...! Otak tolong sadarlah! Daya fantasimu berlebihan! Kugetok kepalaku sendiri supaya berhenti berpikir yang aneh-aneh. "Ka ... kalau begitu kita ke apotik saja!"

Raza menghentikan laju mobilnya lalu menatapku, "Aku ini orang yang menyelamatkanmu loh! Memangnya kau pikir aku mau berbuat macam-macam? Dasar tidak tahu terima kasih!"

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now