BAB 2

215 21 0
                                    

Berbalik atau tidak, aku cukup ragu, lebih tepatnya takut menghadapi kenyataan, sebab aku tahu maksud dari dehaman dan tatapan-tatapan itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Berbalik atau tidak, aku cukup ragu, lebih tepatnya takut menghadapi kenyataan, sebab aku tahu maksud dari dehaman dan tatapan-tatapan itu. Hal ini selalu terjadi padaku.

Perlahan kuputuskan untuk menoleh pada arah suara deham dan tatapan-tatapan itu. Benar sekali, seorang wanita paruh baya bersanggul bulat dengan kebaya encim merahnya berdeham kembali padaku. Dari wajahnya tampak jelas bahwa ia merasa terganggu dan jijik. Dia mengangkat dagu dan mengarahkannya pada barisan orang yang mengantre di belakang. Aku sungguh-sungguh tidak menyadari telah menghambat antrean orang-orang yang ingin mengambil makanan.

Beberapa detik lalu sesuai dengan prediksiku hanya ada tiga orang yang tertarik mengambil makanan utama dan aku berada di barisan terakhir, karena hampir semua tamu undangan mulai bersaing di gubuk-gubuk makanan. Rupanya dua orang di hadapanku sudah lama pergi dan kini orang-orang telah berbaris mengular di belakangku.

"Eh, Nong! Sirene ngambat antrean!" Sambil berbicara, wanita sanggul bulat memindaiku dari atas ke bawah dengan tatapan sinis. Aku juga tahu kalau sudah menghambat antrean, seandainya wanita ini bukan orangtua, sudah pasti kulawan karena bersikap seolah aku mencuri semua makanan.

Mulut wanita itu terus bersungut-sungut. Alisnya menukik seperti parang bengkok, riasan matanya sangat hitam dengan celak meliuk tajam, dan bulu mata dipenuhi maskara yang justru membuat kedua matanya seperti ditutupi kecoak. Kalung, gelang, dan cincin sebesar Megatron menggantung berkilau-kilau di seluruh tubuhnya. Untuk bisa melihat dengan jelas wajah ibu itu, aku harus bertarung melawan kilauan dengan berkedip di kecepatan seribu kedipan per menit.

Sayangnya hal lain membuatku syok. Orang-orang mulai berbisik, bahkan pendukung-pendukung ibu bersanggul bulat dan mata kecoak ikut bersuara, "Iya, minggir, dasar kemaruk! Yang lain juga mau makan tahu!"

Kalau aku tahu bahwa antrean sudah sepanjang ini, tentu saja aku tidak akan berlama-lama mengambil makanan. Sayangnya apa daya, aku yakin orang-orang ini tidak mau mendengar penjelasan atau alasan apa pun dariku. Kenyataannya mereka memang sudah berbaris panjang di belakangku, jadi meski dongkol, aku tetap menunduk dan berkata, "Maaf ... saya tidak sengaja. Silakan ... silakan." Aku mundur beberapa langkah, kemudian mempersilakan mereka untuk lewat dan mengambil makanan.

Hanya saja orang-orang sudah terlanjur kesal dan marah. Mereka terus-menerus merutuk. Seorang wanita muda bersanggul tinggi, besar, dan memegang kipas ̶ melihatnya mengingatkanku pada sarang tawon ala Marie Antoinette ̶ berkata, "Tidak tahu malu, selapar-laparnya jangan menumpuk makanan sebanyak itu juga kali!" Beberapa orang lain yang mengantre juga turut bersungut-sungut dengan tatapan penuh kekesalan padaku.

Mulanya aku dapat menerima cacian mereka, tapi omelan-omelan dan tatapan para pengantre yang semakin pedas membuat dadaku sesak serta bergemuruh kencang. Keringat dingin mulai menetes di pelipis, punggung, dan telapak tanganku. Aku hanya dapat menundukkan pandangan dan mengulang-ulang kata maaf meskipun tahu bahwa tidak ada gunanya semua permintaan maaf ini.

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now