BAB 10

82 11 0
                                    


Apa hal paling menakutkan bagi mereka yang ditinggal wafat oleh orang terkasih?

Bagiku ketakutan itu adalah dunia yang masih terus berjalan seperti biasa.

Dunia tidak akan peduli bahwa aku baru kehilangan sosok ibu. Dunia akan selalu mendesak agar setiap kewajiban dijalankan dengan sempurna, sama persis. Seperti yang sedang kuhadapi sekarang, meskipun ini hari pertama masuk kerja setelah mendapat cuti darurat dari kantor karena wafatnya ibu, tapi tugas-tugas kantor sudah menumpuk. File-file SPJ ̶ surat pertanggungjawaban ̶ dan kontrak-kontrak kerja tampak menggunung di atas meja kerjaku. Padahal untuk melangkahkan kaki menuju kantor saja sudah sangat sulit dengan perasaanku yang campur aduk, sekarang aku harus menghadapi beban kerja yang berat. Meskipun aku sudah berusaha mengerjakan laporan SPJ ini sejak pagi sampai sore tanpa berhenti. Namun, tumpukan pekerjaan terus bertambah, bukannya berkurang.

Belum cukup dengan tumpukan pekerjaan kantor, di mejaku pun dipenuhi kertas-kertas tagihan pribadi yang aku dan adikku harus bayar. Kami tidak pernah mengurus perihal tagihan-tagihan sebelumnya. Selama ini aku hanya menyisihkan setengah gajiku pada ibu, selebihnya ibu yang akan mengatur semua pembayaran tagihan. Tagihan listrik, air, iuran keamanan, kebersihan, sampah, iuran PKK, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, asuransi kesehatan, tagihan internet, tagihan saluran televisi kabel, serta tetek bengek tagihan lainnya.

Sial, banyak sekali tagihan-tagihan ini? Bagaimana mungkin dulu ibu bisa mengatur dan membayar semuanya dengan separuh uang gajiku?

Rupanya rasa kehilangan akan lebih membebani di saat kebutuhan dan tagihan merongrong.

Di saat aku sedang bermeditasi memikirkan tagihan-tagihan, tiba-tiba sebuah benda berwarna kuning menimpa kepalaku.

"Karin, kau pakailah baju itu. Ayo ikut Abang menonton pertandingan bola supaya kau bisa terhibur." Logat Batak kental dan suara menggelegar Bang Gaol sudah terdengar, bahkan sebelum orangnya tampak di hadapanku. Rupanya Bang Gaol baru keluar dari ruangan Pak Kabag yang berada di belakangku.

"Heu euh, ikut wae Karin. Da Pak Kabag oge ikut. Anak-anak bagian umum bade ikut sadayana," ucap Teh Ice Juice yang rupanya sedari tadi sedang membenamkan diri di antara tumpukan kostum pendukung klub bola berwarna kuning di mejanya yang berada tepat di depanku.

"Tapi Karin sama sekali tidak paham soal bola." Aku memang betul-betul tidak paham perkara permainan bola, jadi rasanya percuma kalau mereka mengajakku. Aku bukan penggemar bola.

"Ah, itu bukan masalah. Kamu tinggal duduk dan lihat. Kalau pemain berkostum kuning bisa memasukkan bola ke gawang lawan, kamu hanya perlu teriak gol. Inti permainan sepak bola hanya itu. Sudah cepat, ganti bajunya, sebentar lagi jam pulang. Pas bel bunyi, kita langsung berangkat. Soalnya kick off dimulai jam 4.30." sahut Kabag Doni yang berjalan di belakang Bang Gaol.

***

Benar sekali, aku memang tidak mengerti apapun soal bola, tapi aku mengerti caranya menjadi shimmering splendid di tengah pertandingan bola. Tentu saja dengan berdandan keren. Untung aku selalu menyimpan sepatu sneakers dan celana jeans hasil permak ukuran jumbo di laci meja kerjaku untuk momen-moment mendadak seperti ini.

Selebihnya, aku hanya ikut-ikutan berteriak saat bola masuk gawang, dan menjerit kesal ketika bola gagal masuk gawang. Kacaunya, semua bola yang masuk gawang kuteriaki gol. Sampai-sampai tim pendukung yang sama-sama berpakaian kuning melotot kesal.

Aku dan teman-teman kantor duduk di tribun VIP Stadion Sepak Bola Seruni. Tribun VIP terbagi menjadi dua yaitu kanan dan kiri. Kami duduk di tribun kiri. Stadion olahraga berskala internasional ini sangat besar dan berisi beberapa area lapangan olahraga lain. Rupanya Kabag Doni mengajak Dokter Raza untuk turut menonton pertandingan. Aku hampir lupa fakta bahwa mereka berdua bersahabat, dan sepertinya mereka berdua sama-sama penggemar bola. Bukan hanya bola, tapi semua olahraga, mungkin bisa kusebut mereka sebagai duo maniak olahraga.

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now