BAB 9

80 12 0
                                    


Berkali-kali sejak kecil otakku memikirkan sebuah pertanyaan, bagaimana jika orang tuaku wafat? Aku tidak pernah menyangka jika jawaban pertanyaan itu akan kudapatkan saat ini.

Hancur lebur.

Bingung.

Rindu.

Menyesal.

Aku tidak pernah menduga akan kehilangan dengan begitu cepat. Secepat terhentinya napas kehidupan ibu. Aku masih bisa mendengar berat napas terakhir ibu serta sorot mata yang memandang aku dan Aldi dengan kekhawatiran sebelum kesadarannya memudar dan hilang sepenuhnya.

Di hadapan lubang peristirahatan terakhir bagi ibu, kakiku melunglai. Mungkin aku adalah orang paling lusuh saat ini dengan pakai serba hitam dan tas selempang yang basah di bagian bawahnya. Orang-orang telah berkumpul di pemakaman milik warga Kampung Kubang Kutu untuk mengantarkan dan mendoakan jenazah ibu. Aku dapat melihat seluruh keluarga besar, Kabag Doni, Teh Ice, rekan-rekan kerja dari bagian umum Pemda Cilegon di antara kerumunan orang. Jordi sempat menemaniku sebelum memilih mundur ke bagian belakang kerumunan untuk menggunakan ponselnya.

Sejak berita wafat ibu tersebar hingga detik ini, orang-orang terus menghampiriku untuk menanyakan tentang kejadian wafatnya ibu. Berkali-kali aku harus mengulang kronologi, penjelasan, dan mengorek luka yang sama. Setiap pelayat datang dan menuntut penjelasan dariku, setiap kali itu pula rasanya lubang hatiku digali semakin dalam. Hingga akhirnya kata-kata yang keluar dari mulutku seperti sebuah hasil rekaman. Hanya perlu menekan tombol play dan kata-kataku meluncur keluar begitu saja. Kosong tanpa jiwa. Kering dari makna.

Ibu mendapatkan tempat pemakaman terbaik. Tepat di bawah pohon tabebuya yang bunganya sedang bermekaran seakan menyambut kepulangan ibu, serta cuaca mendung dengan sedikit semburat jingga di pukul 17.00 WIB yang seolah menyatakan bahwa langit pun turut bersedih.

Aku tidak sanggup untuk berdiri, air mataku mengalir deras. Oma Sarmani memintaku untuk melihat wajah terakhir ibu sebelum dikebumikan. Aku ingin mengecup dan memeluk ibu untuk terakhir kalinya. Namun, otakku terus memikirkan berbagai pertanyaan lain, bagaimana mungkin aku bisa memeluk ibu lagi setelah raganya terpisah dariku? Kepada siapa aku bisa berkeluh kesah setiap sebuah permasalahan berat menghantamku? Apa yang harus kulakukan setelah kepergian ibu? Bagaimana aku bisa bertahan? Kata-kata itu terus menghantuiku, berulang-ulang sampai berharap agar Tuhan turut serta membawaku pergi bersama ibu.

Oma Sarmani menghampiri kami, tangannya mengusap ringan punggungku dan Aldi yang berdiri tepat di sampingku, "Kalau kalian kuat, cium dan peluk ibumu, tapi kalau tidak, kalian boleh tetap di sini." Aldi mengangguk dan bergerak terlebih dahulu. Ia membungkuk memeluk ibu dan mengecup keningnya. Sejak di rumah sakit, aku melihat betapa adikku berusaha kuat menahan tangis, hanya ada tatapan ketegaran dari kedua matanya yang lelah. Begitu pun saat ini.

Aku pun berusaha melangkah maju mendekati ibu untuk kali terakhir. Meski hati dan kedua kaki ini terasa berat bagai terikat beban berpuluh-puluh kilo, tetapi aku berhasil menghampiri ibu. Aku tidak dapat setegar Aldi, sebab air di pelupuk mataku mengalir semakin deras. Wajah ibu tampak tersenyum walau jiwa telah meninggalkan raganya. Jenazah malaikat yang melahirkanku terlihat lebih pendek dari tinggi sesungguhnya, sebab kedua kaki ibu telah diamputasi akibat ulkus diabetikum. Ibu ternyata menderita diabetes mellitus, dan ibu tidak menyadari luka di kedua kakinya hingga luka itu berubah menjadi ulkus atau borok parah dengan kerusakan saraf sampai ke tulang. Akibatnya kedua kaki ibu tidak bisa diselamatkan lagi.

Aku tidak pernah menyangka bahwa turunnya berat badan ibu bukan karena diet yang berhasil, tapi merupakan efek samping dari penyakit diabetes. Setelah kupikir lagi, akhir-akhir ini ibu selalu berjalan dengan terpincang-pincang. Dulu aku mengira ibu hanya keletihan karena sibuk berjualan nasi uduk. Menyiapkan nasi uduk dan berdiri selama berjualan memang membuat kaki lelah. Tidak ada dalam pikiranku bahwa ibu mengalami ulkus kaki, terlebih salah satu penyebab luka kakinya adalah pertikaian yang kusebabkan di musyawarah keluarga. Saat itu ibu membelaku habis-habisan melawan Bibi Sri yang terus memojokkanku untuk membayar kerugian 20 juta. Ibu menerjang pecahan piring yang hancur berantakan akibat tertendang dalam perkelahian.

EAT MY BELLY!Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα