BAB 11

74 12 0
                                    

Hari Mingguku dimulai dengan sebuah tragedi. Aku yang sedang duduk mengikat tali sneakers di teras rumah untuk bersiap pergi menemui Jordi dikejutkan oleh kedatangan Oma Sarmani. Oma mengamuk seperti Hyena sambil melempar satu eksemplar koran lokal Banten padaku. Pada bagian depan koran terdapat sebuah foto berukuran jumbo yang hampir memakan sepertiga halaman koran.

Awalnya kupikir itu foto karapan sapi yang memakan korban. Namun, setelah tiga kali berkedip sambil membersihkan sisa lemak di lensa kacamata, pandanganku menjadi semakin jelas. Aku adalah si sapi yang sedang menyeruduk korban, dan korbannya adalah seorang polisi anti huru-hara yang menunjukkan wajah kaget dan meringis ketika diseruduk tanpa ampun.

Bukan hanya foto itu yang membuatku berdebar seperti menantikan kelahiran bisul, tapi tajuk berita utama yang dicetak tebal dan besar di halaman paling depan koran itu sangat provokatif.

UNTUK PERTAMA KALI DALAM SEJARAH: POLISI ANTI HURU-HARA DILUMPUHKAN SEORANG SUPORTER WANITA YANG MENGAMUK DI TENGAH KERUSUHAN DAN KEPUNGAN ASAP.

Meskipun wajahku tidak terlihat jelas di koran itu, tapi Oma Sarmani bisa langsung mengenaliku. Tentu saja Oma mengenaliku, selain karena aku adalah cucu sepupunya, di kota ini tidak banyak wanita gemuk berambut keriting merah, dan berkacamata. Kalau pun ada, tidak akan ada wanita yang memiliki kenekatan akut sepertiku.

Jujur saja, aku sama sekali tidak tahu sudah menyeruduk polisi. Saat itu yang kupikirkan hanya menyingkirkan semua penghalang di jalur pelarian untuk menyelamatkan nyawaku dan rekan-rekan tim kuning. Kalau kami terlambat bergerak, kami bisa mati terinjak-injak. Terlebih lagi karena gas air mata membuat anak-anak kesulitan bernapas.

Namun, Oma tentu saja tidak mau mendengar penjelasanku. Oma mengamuk, telunjuk mautnya menudingku sambil berkata, "Kamu ini memang gila, ya? Rusuh di nikahan. Rusuh di rapat keluarga. Sekarang rusuh di stadion sepak bola. Polisi maning sing sire terjang! Ini masih suasana duka Karin. Bagaimana kalau nanti kamu ditangkap polisi?" Oma berteriak hingga urat-urat lehernya terlihat jelas.

"Tapi, Oma, Karin tidak tahu kalau yang diseruduk itu polisi, Karin tidak sengaja Oma," bokongku seketika panas. Posisi dudukku menjadi serba salah.

Darah melesat naik dan mengubah warna air muka Oma menjadi merah. "Jangan menjawab kalau orangtua sedang bicara!" Aku langsung terdiam begitu mendengar sentakan Oma. Sudah bisa dipastikan dari seorang nenek diktator yang suka berpura-pura demokratis, bahwa dalam kondisi seperti ini sikap belangnya akan terlihat jelas. Oma akan menggunakan kekuasaan absolut agar aku mengikuti seluruh perintahnya

Bukan tanpa alasan aku mengatakan harus pergi. Sebab aku harus mencari Jordi. Sejak kematian ibu, Jordi menghilang. Dia tidak mengangkat telepon ataupun membalas pesan singkatku. Jangankan membalas, pesanku tidak pernah dibaca. Karena terlalu disibukkan oleh acara tahlil pasca wafatnya ibu, aku pun belum bisa mendatangi rumah Jordi.

"Oma, Karin betul-betul harus bertemu Jordi. Ada yang harus kuselesaikan. Kali ini saja! Karin akan lebih berhati-hati." Aku memohon dengan sungguh-sungguh.

"Meneng sire! Pokoknya kamu sekarang sembunyi dan diam di rumah Oma! Ayo!" Tanpa ampun Oma Sarmani menarikku dengan satu tangan. Astaga, bagaimana mungkin nenek kurus ini bisa menarikku hanya dengan satu tangan?

Aku memberontak, tapi tenaga Nenek Diktator sangat besar. Ini keterlaluan, harga diriku sebagai balita sehat tercabik-cabik. Bagaimana bisa kekuatanku dikalahkan oleh nenek-nenek? Oma menyeretku dengan mudah meskipun aku sudah berusaha mengeluarkan jurus paku bumi.

Oma yang melihat perlawananku langsung melotot sebelum kembali berbicara dengan lebih keras, "Ibumu baru saja wafat. Sekarang Oma tidak mau kehilangan kamu!" Itu adalah kalimat pamungkasnya yang tidak dapat diganggu gugat dan membuat kakiku melemah hingga mudah diseret menuju rumah Oma yang berjarak lima meter dari rumahku.

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now