BAB 14

69 13 2
                                    

"Karin! Sudah kubilang, Kak Jordi tidak ada di rumah!" Rere, adik perempuan Jordi menghadangku di depan pagar rumah mereka yang terletak di perumahan elit Palm Hills. Tubuh tinggi dan atletis gadis berambut pendek ini terlalu kuat untuk kutembus. Senggolan bahu Rere saja sudah mampu membuatku terpental, tapi hal yang paling membuatku kesal adalah caranya memanggil namaku tanpa sebutan teteh lagi. Kali ini Rere langsung memanggilku dengan nama, padahal usiaku dua tahun di atasnya.

Baiklah, harus kukatakan bahwa keesokan hari pasca diboyong masuk UGD ̶ dokter memperbolehkanku pulang di hari yang sama ̶ aku bukannya mendatangi rumah sakit rujukan, malah bekerja seperti biasa, sebab rencanaku yang sesungguhnya adalah menghampiri rumah Jordi. Tentu saja alasanku menemui si Berengsek adalah untuk mendapat penjelasan darinya perkara hubungan kami dan uangku. Aku harus mengambil uangku kembali, apa pun yang terjadi.

Sialnya, pasca pengakuanku pada Oma dan Aldi mengenai perkara penipuan dan perselingkuhan, mendadak si Letoy ditugaskan oleh Oma Sarmani untuk selalu mengantar jemputku. Untuk sampai ke tempat ini saja aku harus mengecoh Aldi dengan pura-pura lembur. Aku memintanya untuk pulang, serta kembali menjemput pukul delapan malam. Begitu adikku pergi, aku langsung mengendap-endap keluar kantor. Sayangnya, meskipun Aldi berhasil ditangani, tetapi masih ada si Rere Tengik yang menghalangi rencana. Jadi kali ini aku harus adu mulut habis-habisan dengan si perempuan gila di hadapanku, walau kondisiku masih mengenakan seragam cokelat PNS dan menenteng tas kerja.

"Kau pikir aku bodoh? Jelas-jelas barusan aku lihat Jordi di jendela!" teriakku tepat di depan muka Rere. Sekali pun mataku minus dan sekarang sudah gelap, tapi cahaya lampu di dalam rumah Jordi terang benderang. Aku bisa melihat dengan jelas sosok si Berengsek sedang mengintip di balik jendela.

"Hei Jordi, keluar kau! Dasar penipu! Kembalikan uang 100 jutaku!" Aku menjerit sekuat tenaga.

Ibu Jordi keluar dari rumah dengan wajah merah padam sambil berkata, "Heh, pergi kau! Pergi! Jangan fitnah anakku! Jangan datang ke sini kalau cuma mau mempermalukan keluargaku! Sejak awal aku tidak pernah suka padamu. Perempuan miskin, tidak tahu adat!" Ucapannya menyayat hatiku dan menimbulkan luka yang dalam. Sebelumnya dia memang selalu bermulut ketus dan memerintahku dengan seenaknya. Namun, aku selalu memakluminya. Sekarang aku benar-benar sadar ternyata tidak pernah ada rasa sayang sedikit pun darinya untukku.

Entah sejak kapan pertengkaran kami mengundang rasa penasaran para tetangga. Orang-orang telah keluar dari rumah mereka masing-masing. Beberapa di antaranya berkerumun di belakangku.

"Aku tidak akan pergi sebelum anak Ibu mengembalikan uangku!" cecarku dengan nada paling dingin.

Dua orang pria datang mendekati kami, salah satunya memiliki berewok lebat dan berperut buncit sepertiku, serta seorang pria botak berpakaian cokelat dengan tulisan satpam di dada. "Ada apa ini?" tanya pria berewok kepadaku.

"Pak RT, perempuan ini seenaknya berteriak, memfitnah, dan mengganggu ketenangan. Tolong usir dia, Pak," sambar Ibu Jordi dengan cepat. Kentara sekali bahwa ia sangat tidak ingin Pak RT dan massa berpihak padaku. Tentu saja kali ini aku tidak akan mengalah.

"Bohong! Anaknya yang bernama Jordi sudah menipu saya sebesar 100 juta. Katanya uang itu akan dipakai untuk persiapan pernikahan kami, tapi ternyata dia selingkuh dan membawa kabur uangku ..." Belum selesai aku berbicara, Ibu Jordi sudah memotongku.

"Dasar pembohong! Anak saya tidak akan melakukan perbuatan hina seperti itu. Anak saya juga tidak akan pernah mau menikah dengan perempuan seperti kamu!" sungut Ibu Jordi sambil menunjukku berkali-kali.

"Sudah, sudah! Mari kita selesaikan baik-baik saja!" ujar Pak RT sambil merentangkan kedua tangannya, memberikan sinyal agar aku dan Ibu Jordi saling menjaga jarak aman untuk menghindari kontak fisik.

EAT MY BELLY!Where stories live. Discover now