48 ÷ Obat dan Luka

157 37 13
                                    

Laskar telah berpulang.

Hari ini tak akan ada lagi yang menyalakan Lentera di jendela kamar kayu rapuh itu. Tak akan ada lagi senyum manis yang menyapa setiap waktu.

Sang Lentera kini tak bertuan.

Suara sirine ambulance terdengar di depan pintu rumah besar berlantai tiga itu. Semua orang datang dengan pakaian serba hitam menyambut kepulangan sang pemilik lentera pagi ini.

Pagi ini terasa begitu tenang. Tak ada angin kencang yang menerpa. Dan tak ada pula senyum pada bibir masing-masing raga.

Semua merasa kehilangan.

"Ayo," kata Ayu yang sudah lebih tegar dibanding tadi malam walau rasanya sangat menyakitkan. Ada anak perempuan yang harus ia jaga. Dan Ayu tidak mau terus berlarut-larut karena sebelumnya ia paham bagaimana rasanya kehilangan.

Lestari melihat semua orang yang datang dan melihat satu per satu temannya pagi ini. Wajahnya tak memberikan ekspresi apapun selain datar dengan mata bengkak yang sudah tidak keluar air mata karena menangis semalaman.

Liora sempat pulang dini hari tadi dan gadis itu juga sudah datang di antara teman-temannya. Tak ada senyum pada bibir mereka.

Pun Ojan yang sering tertawa. Lelaki itu kehilangan sahabatnya. Bumi, Aziel, Dewi, dan Arimbi. Mereka menatap nanar peti bewarna putih yang kini keluar dari ambulance setelah Lestari berjalan masuk duluan ke dalam rumah bersama mamanya.

"Kar..." ucap Ojan dengan air mata mengalir.

Dinata, lelaki itu hanya diam. Kejadian semalam benar-benar masih terngiang di otaknya. Tepat di depan matanya peluru itu menembus dengan jahatnya pada tubuh Laskar.

Liora menarik napas dalam-dalam dan pada akhirnya ia menutupi wajahnya dengan masker hitam lalu memakai kacamatanya kemudian menangis dalam diam.

Waktu demi waktu terus berjalan. Banyak orang datang, teman-teman, saudara dan guru-guru di sekolah pun datang untuk mengucapkan bela sungkawa.

Lestari pun sudah mengganti gaun putihnya dengan pakaian hitam. Di saat umurnya menginjak 17 tahun tadi malam, Laskar pergi. Laskar memberikan kado ulang tahun paling menyakitkan tahun ini.

Lestari kira Laskar adalah obat, tapi ternyata dia adalah luka terhebat.

"Anaknya bisa dicium Bu, Pak. Jangan sampai air matanya jatuh, setelah ini kainnya mau ditutup," ucap salah satu seseorang membuat Ayu mendekat dan memberikan kecupan terakhir di dahi putranya. Begitu pula dengan Bapak yang terlihat sangat hancur pagi ini. Ayu masih tidak mau berbicara dengan Bapak. Itu urusan nanti. Yang terpenting sekarang pemakaman Laskar harus berjalan dengan lancar dan semestinya.

Bapak berjalan ke belakang untuk menuliskan nama putranya sendiri di sebuah nisan. Dan yang lebih menyakitkan bin pada nama putranya bukanlah dengan nama Bapak. Melainkan Narendra Ghaizan, seorang ayah yang telah membunuh anak kandungnya sendiri.

*****

Semua orang menaburkan bunga terakhir di pusara Laskar secara bergantian. Mbak Irma memberikan keranjang bunga itu pada Lestari. Namun gadis itu sedikit pun masih tetap bergeming. Tatapannya pun masih kosong menatap pusara Laskar yang sudah penuh dengan kelopak bunga.

"Tari," bisik Mbak Irma.

Lestari mengedip dan tangannya dengan berat hati mengambil senggenggam kelopak bunga lalu menaburkan bunga itu. Taburannya belum selesai dan masih menggenggam sedikit kelopak, Lestari sudah tidak sadarkan diri.

Lentera Laskar ✓Where stories live. Discover now