11 ÷ Lestari

176 63 5
                                    

Haii, udah lama nggak sapa kalian. Akhirnya setelah kira - kira satu tahun kena writer's block aku bisa ngetik cerita lebih dari 10 chapter. Ya walaupun aku merasa harus mulai dari awal lagi, tapi it's okay.

Untuk kalian yang masih setia baca ceritaku, aku mau bilang. Makasih banyak, (nangis brutal😭) aku kira setelah aku bnyk publish-unpublish cerita kalian udh males baca lg, ternyata masih ada yg mau baca walau enggak banyak. Terima kasih ya❤️🤗

Mari kita kawal Lentera Laskar sampai END Aamiin.

***

Setelah melengkapi semua persyaratan untuk mendaftar kerja. Laskar akan menemui Liora habis isya' seperti saat pertama kali mereka bertemu. Liora bisa bertemu di jam malam. Pulang sekolah gadis itu ada bimbel untuk ujian kelulusan tahun depan.

Selesai meletakkan kertas - kertas persyaratan di atas meja, ia keluar dari dalam kamar. Lelaki itu melihat bapak termenung di ruang tamu. Cukup heran, karena bapak jarang termenung seperti ini. Melihat hal itu ia memilih untuk menghampiri bapak.

Kemudian Laskar memegang bahu ringkih bapak. Matanya yang berkantung, dahi yang berkerut, dan kulit keriputnya menjadi saksi bagaimana lelahnya bapak selama ini. Hanya saja bapak tidak menunjukkan kelelahannya secara lisan.

"Ada apa pak?"

"Oh nggak ada, bapak ngantuk aja. Sore - sore gini bikin ngantuk. Gimana? Udah beres semua? Bapak doa in lancar dan langsung diterima."

"Aamiin."

Bapak menatap Laskar cukup lama. Tentu saja itu membuat Laskar bertanya - tanya. Mata bapak seperti menyiratkan sesuatu. Tangan keriputnya menggenggam jemari Laskar, kemudian mengelus jemari itu pelan.

Laskar adalah kebanggaan bapak. Bapak akan melakukan apapun demi Laskar. Sebenarnya bapak tidak rela jika Laskar harus bekerja. Namun, harus bagaimana lagi? Keadaan memaksanya. Jujur saja bapak masih ingin untuk bekerja keras mencari uang, namun fisiknya tak kuat lagi untuk banyak melakukan suatu hal. Bapak sudah tua. Umurnya sudah menginjak kepala 6.

"Bapak baru sadar, kamu ganteng banget," puji bapak.

Pasalnya sebelum pubertas, Laskar benar - benar bocah layangan bau matahari yang ceming, keling - keling dan masih alay. Sekarang sudah berubah. Kadang tetangga juga heran, dikira Laskar oplas, padahal mah memang sudah tampan sejak lahir. Cuma masa kecilnya kebanyakan main layangan, jadi kulitnya sedikit gelap.

"Iya dong kan anak bapak sama ibu." Pede Laskar sambil menyibak rambutnya. Bapak tergelak.

"Yowes, bapak tak mandi dulu."

"Assalamualaikum, Laskar."

Suara panggilan di depan rumah membuat keduanya saling berpandangan.

"Lestari?" tanya bapak. Suara Lestari itu mempunyai ciri khas. Pokoknya kalau ngegas dan kayak mau ngajak ribut, berarti itu suara Lestari.

"Buka sana," suruh bapak kemudian ia berjalan masuk ke kamar mandi.

"Waalaikumsalam, kok nggak bilang mau dateng?"

Lestari masuk dan duduk di bale depan rumah. Meletakkan dua cup Boba milk dan satu dus martabak telur, "Nih buat lo sama bapak. Kalo Bobanya buat kita."

"Makasih. Ke sini naik apa?"

"Angkot."

"Tumben."

"Kepepet. Males naik grab, mau cari suasana baru aja. Wihhh udah nguning aja berasnya."

"Padi."

"Iya itu, mendadak bego." Lestari beranjak dan berjalan ke pinggir sawah. Tentu saja Laskar mengekor di belakang. Lelaki itu duduk di batu - batu. Begitu juga Lestari yang ikut duduk sambil selonjor. Kalau ditekuk kakinya masih sakit.

Lentera Laskar ✓Where stories live. Discover now