01. Semicolon ;

314 189 64
                                    

Dadanya terus berdegup kencang, Fasha semakin grogi, udara mulai berebut masuk ke paru-parunya.

Ia tersenyum singkat. Berniat meraih tangah gadis di sebelahnya, tapi Aerin balas menarik tangannya sebelum mereka sempat bersentuhan. Gadis itu tersenyum singkat, kepalanya menggeleng perlahan.

"Berhenti ya, Fash."

Dengan sigap, laki-laki itu menggeleng keras, bahkan lebih seperti ia tengah mengguncang habis kepalanya, berusaha menghapus gambaran tersebut.

Kejadian itu bahkan tidak pernah terjadi, tapi selalu saja lalu lalang di pikirannya. Menjengkelkan. Fasha semakin menciut setiap kali membayangkan ia ditolak sebelum melangkah.

Detik ini, Rafasha bersumpah untuk membungkam siapapun yang masih berani mengatakan, bahwa cinta dan rasa suka hanya soal waktu.

Jika permasalahannya adalah waktu, seberapa lama seseorang harus menunggu? Satu hari? Satu bulan? Atau mungkin satu tahun?

Kalau hanya itu, Fasha akan berdiri di baris paling depan, sebagai saksi sekaligus tersangka yang paling menentang argumen tersebut.

Pengalamannya selama nyaris dua tahun memenangkan hati Aerin, siap menampar wajah orang-orang yang berani mengatakan semua omong kosong tersebut.

Seolah menentang pepatah 'usaha tidak akan menghianati hasil' Fasha justru lagi dan lagi dihianati oleh usahanya sendiri.

Perjuangannya selalu gagal, Fasha bahkan tak tau dimana dan bagaimana Aerin menghabiskan waktunya selama di sekolah. Ia selalu kehilangan kesempatan untuk bertemu Aerin.

"Mev, menurut lo gue bunuh diri aja ngga sih?" tanya Fasha.

Matanya, menatap penuh kasih pada sebuah kotak seukuran telapak tangan orang dewasa, yang dibalut kertas kado berwarna putih di atas meja. Benda yang tiga hari terakhir menemani hari-hari Fasha.

Melvin tak merespon. Ia justru sibuk menyalin catatan dari buku paket.

"Kalo lo jadi gue, lo bakal bunuh diri ga?" Fasha menoleh ke belakang. Melirik Arifan yang tengah bermain ponsel.

Lelaki itu menggeleng."Engga lah."

Arifan mengalihkan pandangannya dari ponsel, ke arah Fasha. "Gue bakal milih buat ga dilahirin. Jadi lo tuh air banget, Fash," lanjutnya sambil tersenyum manis.

"Aib, bego," sahut Melvin. Arifan manggut-manggut mengiyakan.

Yah, tentu saja. Apa yang Fasha harapkan dari Arifan.

"Tapi menurut lo kalo gue bunuh diri, Aerin bakal sedih ngga ya?"

"Oh, tentu tidak dong, dia ngobrol ama lo juga ogah," timpal Damian. Lelaki itu mengacungkan dua jempolnya, seolah meyakinkan Fasha bahwa kalimatnya barusan adalah fakta dan layak untuk dipercaya.

"Bukan ogah lagi sih, ini mah udah masuk kategori najis," lanjut Arifan, berikutnya mereka tertawa lepas, ditambah dengan Melvin yang ikut terkekeh meski mata dan tangannya tak beralih dari buku.

Fasha mengangkat kedua jari tengahnya ke arah Arifan dan Damian yang duduk bersebelahan. Harus ia akui, yang mereka katakan tak sepenuhnya salah, tapi tetap saja ia kesal.

"Woi Fash! Mau kemana?" tanya Dito setengah berteriak, saat melihat Fasha berjalan ke arah pintu kelas.

"Nih, mau buang sampah." Fasha menunjukkan kado di tangannya pada Dito, selaku ketua kelas yang diamanahi guru untuk mengawasi kelas dan melarang siapapun keluar selama jam kosong.

"Bagus amat sampahnya," celetuk salah seorang siswi.

"Iyalah, peninggalan mantan tuh, yakali ngga bagus," teriak Arifan yang membuat wajah Fasha memerah karena malu, seisi kelas menertawakannya.

PrumessaWhere stories live. Discover now