10. Dependency 🌷

Start from the beginning
                                        

Sepertinya Grehen sudah terbiasa dengan kelakuan anehnya. Dia berjata datar. "Selamat malam, Tuan Muda. Sepertinya biasa, sudah waktunya anda melakukan terapi."

Ray sepertinya tidak mendengarkan. Dia berbaring lurus dengan lesu di atas tempat tidur.

Lawin--pria yang akan melakukan terapi pada Ray, melangkah mendekat memeriksa tubuh Ray terlebih dahulu. Grehen terdiam memerhatikan.

"Kamu boleh pergi."

Tanpa melihatnya, Emi tahu perkataan Grehen untuknya. Ia menaruh makanan di atas meja yang tersedia dan pergi dengan gerakan sopan.

Lawin terlihat diam berpikir sembari menatap Ray yang berbaring diam seolah tertidur.

"Bagaimana?" tanya datar Grehen. Nada suaranya cukup dingin.

"Sebelumnya Anda berkata bahwa Tuan Muda Ray kambuh lagi kan kemarin malam?"

"Ya."

Lawin menghela nafas panjang dengan sedikit simpati di wajahnya. "Dari keadaan fisik, beberapa luka yang terjadi akibat dirinya sendiri, di tambah terlalu seringnya kambuh di bulan ini, mungkin ini membuktikan bahwa tidak ada kemajuan kesehatan dalam penyakit Tuan Muda. Di antara gejala skizofrenia, terdapat tiga gejala. Dua sekligus diantaranya di alami Tuan Muda. Yaitu gejala positif, dan gejala tak beraturan. Gejala positif adalah halusinasi, delusi. Sedangkan tak beraturan mungkin jarang di alami Tuan Muda, tapi sesekali pasti ia merasakan gelajanya. Di mana gejala ini adalah suatu perilaku atau gerakan tak beraturan atau berulang."

Semakin Lawin berkata, semakin buruk ekspresi Grehen. Matanya menajam. "Sudah berapa tahun kau melakukan terapi terhadap Tuan Muda?"

Lawin terkejut dengan nada suaranya yang sangat dingin. Ia sedikit gemetar dan menjawab. "Hampir sepuluh tahun, Pak ...."

Grehen tersenyum sinis. "Kenapa tidak ada perubahan apa pun selama itu? Apa kau hanya seorang dokter abal-abal?"

Ekspresi Lawin mengeras. "Tolong jaga ucapan Anda, Pak."

"Lalu mengapa jawaban keadaan Tuan Muda selalu sama?"

"Saya hanya seorang psikoterapi, bukan malaikat yang akan menyampaikan mukjizat agar Tuan Muda sembuh begitu saja."

Grehen menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Ia sama sekali tidak ramah kepada orang di hadapannya. Itu karena jika bukan dia sendiri yang membawa seorang penyembuh kepada Tuan Mudanya, dia tidak akan percaya.

"Teruskan," ucapnya dingin. Melihatnya tetap diam, Grehen menggertakan gigi. "Apakah aku harus keluar?"

Lawin tersenyum sembrono. "Seperti biasa, Pak."

Grehen meliriknya tajam sebelum berbalik keluar.

"Tuan Muda, tolong buka mata Anda. Kita harus melakukan terapi perilaku."

Sebelum keluar, Grehen bisa mendengar suara Lawin. Menutup pintu dengan kejengkelan di hatinya, ekspresi Grehen begitu suram saat menatap pintu di depannya.

Dari dulu, Grehen selalu berusaha untuk menerapkan kepercayaan pada pria berusia 50 tahun itu. Tapi, isntingnya yang kuat selalu mengatakan ada yang tidak beres dengan Lawin. Hanya saja, sampai saat ini ia tak memiliki bukti apa pun. Kecuali pada saat terapi yang tidak ia saksikan sendiri, Lawin selalu rapi saat menjelaskan kondisi Ray.

Karena kamarnya tidak kedap suara, Grehen masih bisa mendengar suara dari dalam walapun tidak jelas. Semakin lama, suaranya semakin keras. Geraman tinggi yang sudah pasti suara Ray, cukup nyaring. Grehen langsung membuka pintu ...

Bug!

... tepat pada saat Lawin terlempar le lantai dengan hidung dan sudut bibir berdarah. Dia terlihat meringis kesakitan.

Posisi Ray berdiri di hadapan Lawin dengan emosi marah berkobar di matanya. Kedua tangannya yang berurat menonjol karena kepalan kuat. Seolah akan membunuh pria paruh baya itu kapan saja, aura membunuh Ray begitu menekan.

"Aarg! Akan ku bunuh kau!"

Grehen yang masih terkejut, semakin dikejutkan dengan suaranya yang buas. Kenapa suaranya ...

Mata Lawin terbelalak mendengar teriakannya. Dia tak kalah terkejut. Namun, itu menambah rasa takutnya.

Tanpa berpikir jauh, Grehen melompat ke Ray untuk menghentikan gerakannya yang benar-benar akan membunuh Lawin dengan tangan kosongnya.

"Tuan Muda! Tolong hentikan!"

Lawin terlihat pucat pasi dan beringsut mundur kebelakang. Melihat kedua mata Ray yang memerah menyeramkan, Lawin semakin menyusut

Berontakannya yang kuat membuat Grehen kewalahan. Grehen melirik Lawin dengan tajam. "Apa yang kau katakan pada Tuan Muda!!"

"Ti-dak .. Sa-saya hanya ...."

"Arrgh! Arragh!!" Ray berhenti berontak dan berjongkok tiba-tiba sembari memegang kuat kepalanya seolah tersiksa. Antara tangisan, geraman, dan teriakan pilu bercampur.

Grehen tak pernah melihat separah ini.

***

Reane terdiam di depan cermin menatap dirinya sendiri. Sedari tadi, ia hanya melamun memikirkan alur novel dan memikirkan berbagai solusi untuk kehidupannya agar lebih baik.

Ia merasa sangat jenuh dan tak bisa tidur. Tiba-tiba ia menyadari bahwa malam ini begitu sunyi seolah akan ada badai yang datang kapan saja setelah kesunyian berlalu.

Menyingkirkan pikiran negatifnya, Reane berdecak dan baru teringat jikalau kamarnya kedap suara. Mana bisa suara-suara di luar akan sampai ke sini? Tentu saja dia hanya diam sehingga kamarnya ini sangat sunyi.

Piyama lembut sudah menempel di tubuhnya, tapi ia hanya melamun tidak jelas. Apa yang diinginkan hatinya ini? Apakah bertemu Ray?

Reane langsung terjun ke kasurmya yang empuk dengan posisi menelungkup. Ia bermonolog dengan suara teredam. "Apakah Ray sudah tidur?"

Lalu badannya berbalik menatap langit-langit. "Ha ... Pasti sudah tidur. Sudah ada Pak Tua sekarang. Apa dia akan melupakanku?"

Reane langsung menepuk pipi karena pikirannya yang terlalu overthingking. Dia menghela nafas dan memaksa menutup mata untuk tidur.

Seolah tertidur, dia tidak bergerak selama semenit ... Dua menit ... Tiga menit ... "Ah! Aku tidak bisa! Aku harus melihat wajah tidur Ray terlebih dahulu!"

Reane langsung beranjak mengenakan sandalnya. Tak peduli hanya dengan piyama saja dia keluar, pokoknya dia harus melihat Ray baik-baik saja!

Reane membuka pintu dengan tekad di wajahnya. Namun seseorang tak terduga berdiri menjulang di hadapannya dengan berantakan. Di hadapkan dengan kemeja dengan kancing terbuka sehingga kenampilan dada yang bidang, lalu leher berkeringat, jakun menonjol. Semakin Reane mendongak, akhirnya dia melihat wajah orang di hadapannya. Mata memerah tajam dan dingin, wajah tanpa ekspresi, rambut basah yang sepertinya karena keringat.

Reane tercengang dengan mata terbuka lebar

"R-ay?"

Mata menakutkannya berubah seketika. Dalam sekejap, tubuh Reane yang mungil di bungkus oleh sebuah pelukan dingin dan erat.

~•~

TBC

__

Minta dukungannya dengan vote/komenya!

Buat part ini, kayaknya kebanyakan katadeh. Tapi gak papa,bonus karena kelamaan up😂

_____

23.44.
11 Nov 2022

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now