10. Dependency 🌷

Start from the beginning
                                        

"Ti-dak ..."

Grehen menyeringai tiba-tiba. "Sudah kuduga. Tidak mungkin dia akan kembali sendiri ke sarang singa ini dengan hati terbuka. Di tambah perubahan sikapnya yang terlalu tiba-tiba sangat mencurigakan. Apakah kamu berpikir sama?"

Emi tertegun dan merenung. Ia diam tenggelam dalam pikiran. Benarkah Nyonya hanya berpura-pura?

Tak membutuhkan jawaban Emi, Grehen menggertakkan gigi dengan tatapan tajam. "Jangan langsung percaya padanya. Awasi terus gerak-geriknya. Setiap kejadian pasti memiliki sebab. "

Emi hanya bisa mengangguk dengan linglung.

***

Seharian ini Reane tidak bertemu dengan Ray, jadi dia berniat menjemput Ray di kamarnya untuk makan malam. Hanya saja, saat akan menaiki tangga, ia di cegah Emi.

"Apakah Nyonya akan ke kamar Tuan Muda?"

"Ya. Kenapa?"

"Maaf, Nyonya. Untuk malam ini Tuan Muda tidak akan makan malam di ruang makan ..."

Reane mengerutkan kening. "Apa itu peemintaannya?"

"Ah! Tidak, Nyonya!" Emi menggeleng sungkan. "Itu ... karena ada pengobatan rutin oleh psikoterapi yang Pak Grehen bawa. Setelah selesai, saya sendiri yang akan membawa makanannya ke kamar Tuan Muda."

Saat Reane akan membuka mulut, Emi melanjutkan. "Apa tidak apa-apa jika Nyonya makan malam sendiri?"

Reane yang akan berkata bahwa dia saja yang membawa sarapannya ke Ray, langsung tutup mulut dan hanya mengangguk dengan helaan nafas. "Tidak apa-apa."

Tentu saja tidak heran jika ada orang yang mengobati kesehatan mental yang berkunjung. Reane kira, pengobatan yang Ray jalani hanya obat-obatan saja. Tapi mungkin dengan adanya psikotera akan mengurangi gejala. Itu bagus, Reane sedikit lega karena Grehen cukup bijak dan sangat peduli terhadap penyakit Ray.

"Berapa kali Ray melakukan terapi?"

"Mungkin dalam satu bulan sekitar 1-2 kali."

Reane mengangguk mengerti. Mungkin dia tidak bisa menganggu Ray untuk sementara waktu. Reane menepis keinginannya untuk bertemu Ray dan berjalan menuju ruang makan dengan helaan nafas lesu.

Hanya tidak bertemu setengah hari saja entah kenapa terasa rindu.

***

Beberapa langkah kaki terdengar jelas di lorong gelap. Seorang pria tinggi tidak lain adalah Grehen, berjalan dengan langkah lebar diikuti seseorang berjas putih di belakangnya. Lalu di belakangnya lagi Emi yang tengah membawa nampan yang di mana di atasnya terdapat sepiring makanan dan minuman.

Langkah mereka langsung berhenti saat di hadapkan dengan sebuah pintu yang tinggi dan lebar. Grehen terdiam sejenak di depan pintu itu. Pria yang sepertinya ahli kesehatan dan Emi di belakangnya ikut diam sembari menunggu Grehen membuka pintunya.

Di sana sangat hening. Tidak ada suara apa pun dari kamar yang tidak kedap suara itu. Sengaja jika ada ada kejadian atau teriakan, mereka bisa mendengar dan bergegas.

Beberapa detik kemudian, Grehen membuka pintu dengan pelan. Kegelapan menyambut pandangan ketiganya. Tidak ada yang bisa di lihat di dalamnya. Kedua orang di belakang Grehen agak pucat karena ngeri saat merasakan aura menakutkan. Padahal, mereka lebih sering datang keruangan itu. Namun tetap saja membuat mereka sedikit ngeri dan enggan untuk masuk.

Tanpa basa-basi, Grehen masuk dan menyalakan lampu. Ketiganya terkejut melihat Ray sudah berdiri di hadapan mereka tanpa ekspresi apapun di wajahnya, namun bisa dilihat dengan jelas bahu Ray langsung turun seolah kedatangan mereka bukan seseorang yang diharapkannya. Matanya menajam, dia hanya melirik Grehen sekilas dan berjalan ke tempat tidurnya seolah kedatangan ketiganya transparan.

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now