IKhlas

3.6K 334 10
                                    

Malik kini sedang jongkok sembari terdiam menatap dua gundukkan tanah yang baru saja di tumpuk. Itu makam orang tua nya, kedua orang tuanya. Siang ini sang orang tua sudah di makamkan, setelah kemarin identidasnya ditemukan.

Dia tidak menitikkan satu air mata pun saat itu. Haikal juga terdiam di samping tubuh Malik. Ia dapat melihat sirat keputusasaan di dalam mata anak itu. 

Haikal jelas merasakan apa yang anak itu rasakan, kehilangan orang tercinta tentu adalah hal yang paling menyakitkan, apalagi kedua orang tua. Waktu itu Haikal pun sama kala melihat sang ibunda meredup cahayanya, dan harus tewas akibat dari sebuah pengkhianatan yang sang ayah lakukan. Haikal sangat membenci itu.

Dan semua berubah semenjak saat itu, termasuk Haikal sang mentari yang cahayanya tak lagi bersinar. bahkan mungkin tak terlihat sama sekali, cahaya matahari pada mata anak itu sudah menghilang entah kemana.

Awan yang cerah kini mulai menghitam, bak ikut dalam keadaan Malik yang sedang berkabung, satu per satu air mata sang awan mulai berjatuhan. Haikal yang menyadari bahwa awan akan menangis keras menemani kesenduan hati Malik, ia pun menarik tangan Malik yang sedang berjongkok menatap kosong ke depan nisan kedua orang tuanya.

"Malik..."

"Ayo pulang." 

Malik masih diam, tatapannya masih sama. 

____________________________________

Kini kedua pasangan itu sedang berada di dalam mobil, setelah Haikal yang membujuk Malik untuk segera pulang karena awan sudah terlihat gelap, benar saja awan langsung menangis keras saat ini, bahkan jalan di hadapan merekapun jadi lumayan tidak terlihat akibat dari kabut, dan air yang sangat deras. 

Tapi mata sang pria putih masih enggan untuk melepaskan pandangannya dari dua gundukkan tanah itu. 

Tak ada air mata, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir merah ranum yang pucat itu. Haikal menghela nafasnya entah untuk yang ke berapa kali, perlahan ia mulai melajukan mobilnya dan meninggalkan pemakaman umum itu, Malik masih menatap dua makam milik orang tuanya. 

Sampai dimana ia tak bisa lagi melihat makam itupun dia menunduk, tangannya saling memilin satu sama lain. 

Haikal melihat itu, air mata Malik mulai membasahi pipinya. Tak lama bahu itu semakin bergetar dan samakin banyak pula air mata yang jatuh membasahi pipinya bahkan sampai jatuh ke pahanya.

Tangan itu meremas celana hitam panjangnya. Melihat Malik yang semakin menjadi, Haikal dengan inisiatif langsung menepikan mobilnya, melepas seat belt yang memeluk tubuhnya, lalu mendekat dan memeluk Malik.

Ia tenggelamkan kepala Malik di bahunya, dan mengusap kepala anak itu perlahan. "Susshh tenanglah, ada saya disini, you're not alone."

Malik menggeleng, dia sendirian sekarang, tidak ada siapapun di dunia ini lagi, keluarga?, teman? apakah Malik benar benar memiliki mereka semua?. Bahkan seseorang yang kini ia sebut suami pun tak sudi menganggapnya sebagai suami pria itu.

Pada intinya, Malik sendirian. Jujur dia tidak terlalu percaya dengan ucapan Haikal bahwa pria itu ada di sisinya. Bahkan sang kakak tercinta yang selalu ada di sisinya pun bisa pergi untuk selama-lamanya dan tak pernah kembali. Apalagi Haikal.


Malik menangis tersedu-sedu walau tak ada suara yang keluar dari bibirnya, tapi dapat kita lihat bahwa anak ini benar-benar frustasi dengan kejadian ini. Tak berselang lama dari itu Malik seketika pingsan dalam pelukan Haikal. 

"Malik?..." Haikal menepuk pelan pipi Malik berharap anak itu akan bangun, tapi setelah beberapa kali Haikal menepuk pipinya, Malik tak kunjung sadar. Walau ia panik tapi Haikal tetap berusaha tenang. Dengan hati-hati ia menidurkan Malik dengan menurunkan sandaran kursinya. Lalu Haikal kembali melajukan mobil itu ke kostannya.

HIS FLAWSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang