"Ini mau dimakan. Makasih ya?"

"Ya udah. Mulai besok aku nggak sempat masak, hari ini udah mulai career coaching lagi. Nanti malam aku sibuk. Dimakan loh, Sya, masakan Bibi."

Hati Arsya rekah, pikirannya berkelana. Membayangkan jika saja ada Miwa disampingnya sekarang mungkin dia akan memeluknya hingga Miwa memohon untuk dilepaskan. Kembali ke kenyataan, Arsya menanggapi, "Iya. Iya. Gemes banget lho kamu pagi ini."

Rendi sampai menoleh ke belakang mendengar percakapan itu.

Miwa hanya berdecak di seberang sana membuat Arsya melempar bom kepastian kepada perempuan yang kemungkinan besar sedang berada di jalan juga mengingat beberapa kali Arsya mendengar bunyi klakson. "Ini kamu ... nggak mau balikan aja?"

Sejujurnya segalanya bisa lebih mudah dan tepat ketika mereka memutuskan kembali. Segala sikap dan perhatian ini tak lagi menjadi tanda tanya atau ... diartikan hanya sebatas rasa kasihan.

"Nggak. Apaan, sih?" Miwa lagi-lagi menolaknya.

Arsya mengabaikan, membuka membuka kotak bekal yang diberikan Miwa kemudian terkekeh kecil, "Kamu bekalin laki-laki umur dua sembilan loh, Miw bukan anak sembilan tahun." Di dalam bekal itu terdapat chicken roll dan vegies salad yang dibentuk Miwa menjadi boneka beruang.

Terdengar tawa geli Miwa diseberang sana. "Aku lagi menerka-nerka reaksi kamu pas buka. Suka?"

"Suka, dong." Sudah pasti.

"Udah dimakan belum?" Miwa makin penasaran.

"Belum."

"Yaelah, nggak valid pujiannya."

Andai Miwa tahu, apapun akan Arsya sukai jika itu dari tangannya. Meski terdengar begitu budak cinta, tentu Arsya begitu rasional. Pasalnya tangan Miwa seperti terbentuk untuk memasak masakan yang enak atau yang akan selalu disukai Arsya.

"Oh ya. Kemarin aku minta tolong Rendi buat ganti microwave di ruangan kamu. Microwave di ruangan kamu udah jadul banget, Sya aku ganti sama lebih terbaru. Dan, bikin lebih sehat juga."

Arsya menatap ke depan, membuat Rendi kembali menoleh padanya

"Microwave di ruangan gue udah diganti?" Tanya Arsya.

"Udah. Kemarin." Rendi melirik sekilas ponsel Arsya, "Bukan cuma microwave tapi gorden sampai isi kulkas, trus jenis kopi udah gue ganti juga pakai teh." Bahu Rendi turun, mengingat kemarin dia tak hanya mengerjakan tugas-tugas yang Arsya berikan, namun juga bolak-balik mengambil barang-barang kiriman Miwa ke kantor. Dia benar-benar lelah seharian kemarin.

Arsya langsung bisa memahami ekspresi Rendi. "Kamu jangan ngerjain Rendi segitunya dong, Miw. Dia udah ketiban banyak kerjaan karena aku."

"Ya nggak apa-apa, sekali-kali," Miwa tertawa lagi, seolah-olah puas. "Sebulan ini kamu harus fokus pemulihan dulu, Sya."

"Iyaaa, Miwa." Arsya terdiam, "Nanti malam pulang jam berapa? Acaranya di hotel apa?"

"Nggak tahu, aku juga ada agenda ke salon malam ini."

Arsya mengernyitkan dahi. "Salon? Ngapain?"

"Ya ... memangnya kenapa?" Miwa tergagap.

"Kamu mau kencan sama siapa sih, Miw? Sampai ke salon segala?"

"Apaan sih? Aku cuma mau perawatan badan sama wajah."

Arsya mendengkus. "Nggak biasanya."

"Ih ... Ngatur?" Nada Miwa sudah terdengar begitu tidak suka. "Udah ah, macet nih. Jangan lupa di makan loh, Sya. Ntar siang dapat kiriman dari Bibi! Rendi udah tahu juga."

We Have To Break Up | ✓Where stories live. Discover now