negan0,5: salah akan selalu ada di mana-mana, tak terhindarkan

53 5 24
                                    

chapter 10

Gue ingat satu tahun lalu saat demo klub, saat satu pertunjukan spektakuler memutar-balikkan tujuan gue semula yang ingin gabung Kelompok Ilmiah Remaja dan klub biologi, pandangan mata gue serasa dibukakan. Ada satu hal lain yang membuat gue tersenyum  dan bergairah sepanjang detik pertama peran-peran ajaib itu mengudara ke lapangan sekolah, melepaskan tawa-tawa murid kelas sepuluh yang sedang berkumpul.

Alih-alih fokus ke jalan cerita pementasan, entah kenapa gue sibuk memerhatikan satu-satu ekspresi wajah para pemainnya yang tentu saja itu palsu, dibuat-buat demi tujuan menghibur. Meski begitu, mereka terlihat begitu lepas dengan apa yang mereka lakukan. Memerankan pribadi lain, menjadi orang lain, menyingkirkan jiwa diri untuk sementara waktu, dan mereka tetap bersemangat karenanya—setidaknya itu yang gue lihat.

Menjadi orang lain. Di saat ada kemungkinan dia tak nyaman dengan dirinya sendiri, benci dirinya sendiri, hanya untuk beberapa menit dalam hidupnya, dia bisa menjadi orang lain dan orang yang menyaksikannya pun terhibur. Lo tidak perlu takut dikatai munafik atau semacamnya. Bukan berarti gue munafik, atau benci diri sendiri. Gue hanya ... gue lihat mereka bisa menunjukkan sisi dirinya yang lain yang bisa saja sama dengan peran yang sedang dia jalani. Dan lo tidak perlu merasa bersalah karena memang itu tugas lo.

Apa ini. Gue merasakan luapan perasaan bebas dalam diri gue. Seolah apa pun yang gue lakukan, tidak ada pihak yang akan dirugikan.

Gue bisa menjalaninya tanpa harus takut melukai siapa pun. Mungkinkah itu yang selama ini gue inginkan?

Gue gabung klub teater, melupakan keinginan semula tentang Kelompok Ilmiah Remaja dan klub biologi. Gue langsung semangat di pertemuan pertamanya. Rajin kumpul dan memperhatikan apa saja yang kakak kelas sampaikan. Dan tibalah saat di mana anak kelas sepuluh untuk pertama kalinya diperlihatkan kemampuan memainkan perannya kepada para kakak kelas dan pembimbing.

Tentu, itu tak semudah yang gue bayangkan. Meski teorinya sudah gue baca, hafal, dan pahami mati-matian, nyatanya saat diimplementasikan, nilai praktek gue jauh dari teman-teman lain yang seolah selama ini telah latihan terus-menerus atau memang mempunyai bakatnya sedari lahir. Gue langsung mengira gue tidak berbakat. Lagian apa sih tujuan gue gabung klub ini? Untuk memuaskan diri gue yang muak berperilaku begini di depan orang-orang?

Salah.

"Perhatiin orang lain dan suasana sekitar lo, Negan! Jangan diri lo aja." Gue kena marah kakak kelas pas diklatsar keanggotaan. Ya, semua juga kena marah sih saat acara ini. "Memainkan peran bukan cuma lo jadi dia, apa yang ada di dia juga ada di diri lo. Tapi semua hal termasuk bagian-bagian luarnya, lingkungan, hubungan personal dengan manusia lain, juga harus ikut lo masukin ke diri lo saat itu. Semuanya, tanpa terkecuali."

Gue mendengarkan lamat-lamat penjelasannya di tengah sisa-sisa kantuk gue karena tiba-tiba dibangunin jam dua belas malam. 

"Akting lo lumayan bagus. Gerak tubuh lo juga sesuai tiap monolog dan intonasi yang dibutuhinnya. Tapi lo cuma ngeliat diri lo aja. Merhatiin diri lo aja. Pas peran lain muncul, akhirnya terlibat dialog, dua arah, lo lebih seringnya cuman sekadar ngucap dan meragain aja, tanpa bener-bener ngikutin gerakan lawan bicara lo lewat mata, seolah di sana nggak ada siapa-siapa selain lo. Paham kan maksud gue apa?"

Anggukan gue samar terlihat di penerangan koridor yang remang itu.

"Yang bener kalau jawab!"

"Baik, Kak. Paham!"

"Seni peran bukan cuma tentang diri lo aja. Ada unsur penting lain yang harus lo perhatiin," jelasnya. "Penonton. Memerankan jadi orang lain berarti lo harus ngebuat penonton percaya sekaligus paham tentang apa yang saat itu terjadi dari para aktornya. Lo harus nyampein tuh, peran lo, guna lo di cerita itu dan bukan kepribadian perannya aja tanpa ngasih tahu impact lo untuk cerita. Paham?"

Take Her to The Saturn [end]Where stories live. Discover now