negan0,3: bintang di langit yang bikin adem

98 6 83
                                    

chapter 6

Kenapa harus Rayu yang pindah sekolah ke sini?

Mau nggak mau itu menambah durasi kemasaman di wajahnya yang sudah judes. Makin nggak enak dilihat, dan makin bikin gue merasa bersalah. Kenapa bukan gue saja yang pindah ke sekolahnya dia? Gue rela.

Tapi sikap Rayu tadi lebih banyak diemnya. Dan judesnya menjadi-jadi.

Kemudian malamnya, Bunda ngebangunin gue dari tidur kecapekan gue sehabis hari pertama jadi panitia MOS. Balik jam enam tadi, lebih sejam dari perkiraan. Katanya Rayu belum pulang dari semenjak dia bawa mobil ke luar rumah. Gue ngelirik jam dinding dengan mata sipit khas masih mengantuk. Pukul sepuluh. Gila aja.

"Kamu cariin Rayu, ya. Bunda khawatir banget dari tadi siang dia belum pulang. Mana ini kan wilayah baru buat dia." Meski pandangan gue masih sedikit kabur, tampang cemas Bunda tetap jelas terlihat oleh gue.

Gua bangun dari kasur, mengucek-ngucek mata.

"Cuci muka dulu, terus pakai jaketnya. Kalau sempet beli kopi dingin juga ya, biar nggak ngantuk."

"Ada kok di kulkas."

Bunda pergi abis ngusap-ngusap pundak gue, agak bikin gue tertegun melihat Bunda yang masih ngasih perhatian ke gue di tengah kekhawatirannya ke Rayu. Kayaknya sih mulai sekarang dia bakal lebih diprioritasin Bunda. Menjaga anak perempuan ternyata lebih merepotkan.

Setelah cuci muka, pakai jaket, mengambil dompet, minum kopi botolan dalam sekali teguk, gue melangkah keluar rumah yang langsung terasa dingin; anginnya menusuk kulit.

Menyalakan mesin, pergi dengan skuter, pencarian si gadis tukang melarikan diri edisi dua pun dimulai.

Butuh waktu lima belas menit untuk gue menemukan dia. Mobilnya ada di parkiran hotel. Astaga.

Masuk ke lobi, dirinya telah resepsionis suruh kemari. Gue menunggu di sofa sana. Lumayan lama, orang yang gue cari dan Bunda khawatirkan pun muncul, lengkap dengan wajah ditekuknya.

"Pulang sana." Bahkan dia nggak mengambil duduk.

"Bareng kamu-lah. Bunda sama Om Lazu khawatir." Om Lazu juga pasti khawatir, kan?

Sebuah decakan keluar dari bibir merahnya. "Gue gak suka diatur. Dan gue lagi nginep di sini, me time, jadi nggak mungkin gue balik lagi ke rumah yang gak gue anggep rumah itu."

Saat dia berbalik, gue segera menghentikannya dengan mencekal lengannya. Dan langsung gue lepas lagi sambil bilang maaf. "Kok nggak dianggep rumah? Kan di sana ada papa kamu."

Gadis ini sudah kelihatan akan mengamuk.

"Rayu." Nggak sengaja gue sebut namanya karena panik. Gue nggak tahu bagaimana metode terbaik membuat seorang perempuan berhenti marah-marah. Gue bukan ahlinya dalam masalah ginian. "Apa yang bisa aku lakuin biar kamu mau pulang?"

Bunda khawatir masalahnya.

Tampaknya tawaran gue itu berhasil bikin dia berpikir sekejap. Senyum miringnya pun terkembang. "Serius?"

Gue mengangguk tanpa ragu.

"Ya udah, duduk."

Rayu yang duduk duluan, disusul gue di depannya.

Dia mengamati wajah gue lamat-lamat dan entah gimana itu bikin gue resah. "Sebenernya, lo salah satu alasan kenapa gue gak mau balik ke rumah," katanya. "Gue gak mau ketemu elo. Dan sekarang lo ngehampirin gue di sini, lo kira gue seneng?"

Take Her to The Saturn [end]Where stories live. Discover now