rayu0,2: laju skuter yang pelan di jalan menuju rumah

113 8 46
                                    

chapter 4

Pindah rumah saja sudah tidak enak, ya. Apalagi harus tinggal bareng dengan dua orang asing yang kehadirannya sama sekali tidak kamu harapkan. Semuanya terlalu asing, cepat, dan mendadak. Papa benar-benar tidak memikirkan perasaanku. Mungkinkah tindakan sepihaknya itu dapat membuat anaknya ini nyaman tinggal di rumah yang bukan lagi milik kami berdua?

Aku ingin berkata tidak sebanyak seribu kali.

Aku berusaha memberontak dengan menunjukkan kemalasanku yang membabi-buta. Tapi Papa pun jadi memperlakukanku dengan tidak baik lagi. Masa aku ingin meminta bantuannya untuk mendorong lemari dia tidak mau? Rayu harus mandiri. Motto hidupku sekarang. Meski lemari itu tetap saja didorong oleh seseorang, bonus minuman dingin gratis.

"Silakan perkenalkan diri."

Harusnya aku memulai semester pertama kelas sebelasku dengan teman-temanku yang biasa. Masih banyak yang ingin kulakukan bersama mereka untuk membuat masa remaja yang tidak membosankan. Tetapi hanya sekumpulan orang tak dikenal saja yang kini sibuk memerhatikan diriku yang berdiri seorang diri di depan kelas.

"Rayu Jolien Seppe." Cukup pelan aku mengucapkannya hingga mungkin mereka yang duduk di belakang tidak akan bisa mendengarnya. Masa bodo.

Beberapa dari orang asing itu kutangkap cengengesan terutama yang cowok. Terang-terangan mereka tersenyum padaku walau guru wali kelas masih ada di kelas.

"Ada yang ingin ditanyakan ke Rayu?"

"Maaf, Bu." Aku menginstruksi sembari mengangkat tangan rendah. "Boleh langsung duduk aja nggak, Bu? Saya agak nggak enak badan." Dan hati. Dan pikiran.

"Oh. Mau ke UKS aja?"

"Nggak usah."

Dengan begitu aku pun berhasil mendapat meja baru untuk kutinggali di sini selama satu tahun. Kalaupun aku tidak pindah lagi. Bisa saja, Mama balik ke Indonesia terus ngajak aku ke Belgia untuk sekolah di sana. Bisa saja. Tapi aku tidak akan berharap setinggi itu.

Tidak perlu kujelaskan kan bahwa selain pindah rumah, aku juga pindah sekolah? Atas keputusan siapa? Keputusan dia yang baru menikah dengan pegawai wanita di kantornya.

Aku mengembuskan napas lelah seraya menempelkan dagu di lipatan tangan. Raut muka jutekku harusnya bisa membuat mereka tak berminat dekat-dekat denganku. Tak akan ada yang bakal kulayani. Belakangan aku sudah terbiasa dengan kesendirian.

Ternyata tidak mempan. Hari pertama semester pertama, tentunya pelajaran tidak langsung dimulai. Kondisi kelas sering dibiarkan kosong oleh guru-guru yang masih sibuk membuat jadwal pelajaran baru. Tak heran kalau anak-anak kelas seketika berkeliaran meninggalkan mejanya masing-masing dan pergi mengunjungi temannya di meja lain. Apa aku masuk ke kelas yang dipenuhi orang-orang nakal? Maka aku tidak beruntung.

"Rayu, kok jutek banget, sih." Pelaku pertama mendekat.

"Padahal baru hari pertama. Masa langsung PMS." Konco-konconya menyusul yang kemudian derai tawa menyembur dari mulut para penggoda itu.

Si pelaku pertama tadi menyimpan tangannya di mejaku. "Keturunan mana, nih? Lo kayak ada mirip-mirip bulenya."

"Temenin ke toilet, yuk." Kusambar lengan siswi yang duduk di sebelahku.

Diiringi protesan dari entah berapa orang itu, aku dan siswi tadi pergi meninggalkan kelas yang juga mendapat perhatian murid-murid lain. Apa di hari pertama masuk ini aku langsung jadi populer? Tapi aku keberatan.

Agak jauh dari kelas, kulepas cengkeramanku dari lengan si siswi, kemudian menatapnya sekaligus menghentikan langkah. "Sori, ya. Gue bener-bener lagi gak pengen diganggu. Apalagi sama cowok-cowok kegatelan kayak mereka."

Take Her to The Saturn [end]Where stories live. Discover now