rayu0,5: orang sibuk versus pengangguran, lihat perbedaannya

72 6 26
                                    

chapter 9

Pagi itu lapangan sekolah tampak ramai. Ada lebih banyak murid yang berkeliaran di sepanjang koridor sampai membuat berisik. Dari yang kutangkap, obrolan mereka menjurus ke dua kata yang sama yaitu 'klub' dan 'demo'. Oke, aku tak perlu bertanya apalagi setelah melihat ada stand mic dan sound system di panggung. Akan ada demo klub di hari keempat alumni-alumni SMP itu menjalani mos.

Kelas masih sepi saat aku sampai. Oh, tidak-tidak. Tas mereka ada tapi orangnya tidak. Anggota-anggota klub. Orang sibuk semua. Aku merasa yang paling bebas di sini mengingat aku juga seorang murid baru. Kupandangi suasana riuh di luar sambil bertopang dagu di mejaku.

Bicara mengenai klub, saat SD, SMP, atau di SMA-ku yang dulu, aku tak pernah ikut klub mana pun. Entahlah, aku tak punya minat terhadap apa pun. Kerjaanku cuma nongkrong sama teman-teman, dan makin sering nongkrong lagi saat Mama dan Kak Mi pergi ke Belgia, rumah jadi sepi. Tak ada hal yang bisa kulakukan di rumah makanya berada di luar terasa lebih tidak membosankan. Terlihat seperti pengangguran saja.

Kukeluarkan napas panjang ketika tanpa kusadari lagi-lagi hatiku didera kerinduan kepada teman-temanku yang kemarin telah melukaiku. Lihatlah orang-orang di luar itu. Tampak begitu senang karena memiliki kesibukan.

"Hei, ngelamunin siapa," Agita tiba-tiba saja sudah duduk di meja depanku. Aku berteman dengannya juga karena dia dan Brigitta telah bersama-sama berduaan terus dari kelas sepuluh. Aku yakin alasannya karena nama mereka berdua hampir mirip meski huruf awalnya beda.

"Lo ikut klub apa?" Aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sapaannya.

Agita ikut memandang ke luar jendela seakan tahu apa yang sedari tadi tengah kulamuni. "Renang," sebutnya, sedikit membuat mataku berkedip karena tak percaya. Tapi jika dilihat dari pribadi tenangnya (kebalikan Brigitta), itu pantas-pantas saja. "Lo sendiri ada niatan ikut apa?"

Kedikkan bahuku menjawab segalanya. "Gak tertarik."

Agita senyum melihatku. "Nanti nonton demonya, yuk? Kali aja lo ada yang tertarik."

Dan setelah tiga pertunjukan klub tari, klub lukis, dan klub menjahit, kuapanku sudah terdengar lima kali. Terang-terangan aku menunjukkannya ke Agita yang berdiri di sebelahku. Bibirnya masih tersenyum tapi, meski sempat kutangkap dia melirikku canggung. Maaf saja, ternyata aku memang tak cocok dengan yang namanya kesibukan.

Kemudian, aku menyadari satu hal. "Btw, lo kok masih di sini? Nggak ikut tampil di demo klub renang?"

"Masih siang nanti. Gue juga mau nonton-nonton."

Aku juga mau lanjut nonton meski membosankan. Tapi berada berdua bersama dengannya di sini benar-benar tidak mengenakkan. Kami saling bicara karena Brigitta yang menjadi penghubungnya. Dan ketika cewek itu tak hadir karena baru saja tampil di klub tari, aku tahu situasinya bakal jadi canggung. Mungkin karena aku juga yang masih tak menemukan ketertarikan bersekolah di sini, tak ada inisiatif memulai pertemanan dengan siapa pun.

Kumohon Agita, pergilah. Tidakkah dia menyadari wajahku yang merengut kesal ini?

Pada saat itulah, mata bosanku menemukan sesosok yang kini tak asing; berada di tengah para penampil demo klub selanjutnya. Gaya rambutnya sama seperti malam itu ketika dia bilang memandangi bintang di langit itu bisa membikin hati adem. Tapi tak ada kacamata di sana, membuatku sulit memahami apa dia si saudara tiri atau gebetan khayalan-ku. Keduanya menyatu dalam satu raga.

Take Her to The Saturn [end]Where stories live. Discover now