rayu0,3: di balkon hotel itu, dia menikmati kesendiriannya

78 7 49
                                    

chapter 5

Kalau dipikir, ini pertama kalinya aku sampai di 'rumah' setelah berpergian dari luar. Belum genap satu minggu aku pindah, aku memang belum pernah main keluar entah sekadar ke mini market atau lari pagi (rutinitasku). Aku tidak kenal sama sekali daerah sini, tak ada yang bisa diandalkan, dan nggak tahu aja belakangan aku merasa lebih mager.

Ketika membuka pintu, seorang wanita yang sedang melakukan aktivitas di dapur menyambutku. "Rayu. Udah pulang?"

Belum pernah ada sebelumnya asisten rumah tangga yang berani menyapa kepulanganku itu dari sekolah. Tapi masalahnya yang itu bukan asisten rumah tangga. Nampaknya sih telah mengundurkan diri dari perusahaan Papa dan full time menjadi ibu rumah tangga.

Aku melengos, menyimpan sepatu di rak, bergumam sedikit sebagai tanda kesopanan.

Sungguh suasana yang aneh.

Sampai di kamar, lagi-lagi aku tak menemukan suasana yang akrab padahal sudah lima hari aku mendiami kamar ini. Ini membuat hatiku kosong. Dan aku bersumpah, lebih baik jikalau terpaksa harus menikah, mereka harusnya tinggal saja di rumah Papa yang sebelumnya, tidak perlu sama-sama menempati rumah baru. Ini double terasa memuakkan.

Tiba-tiba ingin menangis, kulempar tas baruku ke atas kasur, lalu tak sengaja melihat kunci mobil tersimpan di rak dinding tempel kayu. Mulutku kontan terangkat sebelah, tak habis pikir mengapa bisa melupakan temanku yang paling berharga itu.

Kurang dari lima menit, setelah mengabaikan seruan dari wanita yang menyapa tadi, aku sudah berada di jalanan lagi kali ini bersama temanku yang benar-benar berharga dan bukannya saudara tiri tak terakui. Aku mengatur napas kala mobil belum keluar dari area perumahan. Inhale, exhale. Senyum mengembang, langit siang yang terik membentang, perjalanan pelarian diriku pun kembali dimulai!

Tetapi di seperempat jalan menuju tujuan, aku menghentikan mobil, mengetik sesuatu di ponsel.

Aku meminta uang kompensasi ke Papa atas sikap semena-menanya yang menikah dengan wanita lain tanpa minta persetujuanku dulu. Dua kali lipat dari uang jajan bulananku. Papa awalnya menolak sebab pasti mulai sekarang dia tak akan lagi memanjakanku karena wanita baru tadi. Tapi setelah beberapa kali negosiasi, berkata bahwa aku perlu healing setelah pernikahan, pindah rumah, dan pindah sekolah, Papa akhirnya setuju dan katanya akan segera mentransfernya ke ATM-ku. Aku berseru gembira di jok kemudi.

Terimakasih lho, Pa. Berkat uang Papa yang banyak ini, Rayu nggak akan pulang ke 'rumah'. Karena rumah Rayu bukan di situ.

Aku menemui teman-temanku di sekolah yang sebelumnya. Bersantai di kafe tempat dulu kami biasa nongkrong sepulang sekolah.

"Hah? Bokap lo kawin lagi?" Suara Andina terlalu keras sampai membuat meja kami menjadi pusat perhatian selama beberapa saat. Aku memang tidak memberitahu siapa-siapa soal pernikahan Papa yang tak kurestui, males banget.

Aku menghela napas gusar. "Lo aja kaget kan saking nggak nyangkanya? Gimana gue yang ngalamin sendiri dan dikasih tau secara tiba-tiba."

Tiffany menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menyedot lime squash. "Gila sih itu. Masa sampe gak minta restu anak sendiri. Gimana pun juga, nanti calon itu bakal jadi ibu tiri lo, kan?"

Alisku datar. "Udah. Udah jadi ibu tiri."

Seharusnya aku tak perlu memesan makanan saat memutuskan akan menjadikan obrolan ini sebagai topik. Cita rasa chicken sandwich mayo andalanku di piring itu benar-benar pudar.

Andina tertawa dengan terang-terangan dan heboh. "Ibu tiri. Kayak cinderella aja." Aku melotot ke arahnya. Tapi tertawaannya hanya memelan. "Rayu, Rayu. Kok nasib lo abis ortu lo cerai jadi bener-bener apes, ya. Padahal dulu hidup lo perfect banget sampe gue ngiri."

Take Her to The Saturn [end]Kde žijí příběhy. Začni objevovat