5.

74 7 3
                                    

"Kamu?"

Sabrina dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan yang membawa tiga koper besar ke rumahnya. Siapa lagi kalau bukan mantan kekasih suaminya yang mengaku sedang hamil. Tanpa rasa bersalah berani muncul di depan muka.

"Iya, aku. Nggak usah kaget kayak gitu, lah." Jenny melangkah masuk memperhatikan seisi rumah. Belum juga dipersilakan, dia sudah seenaknya duduk membuat Sabrina naik pitam.

"Mau apa kamu?"

Jenny menertawakan pertanyaan Sabrina yang cukup bodoh. Beberapa hari yang lalu, Kai bilang kalau dia ingin membuktikan dengan tes DNA apakah anak ini benar anak kandung atau bukan. Jeni tadinya hampir mau menyerah. Betapa beruntungnya dia ketika berdiskusi dengan ibunya, malah menemukan sebuah saran yang cukup bagus.

Dia bisa memanfaatkan waktu beberapa bulan sebelum anaknya lahir untuk mendapatkan sebagian kecil perhatian Kai. Mungkin dengan terus berada di dekatnya, hati laki-laki itu bisa luluh kembali.

"Suami kamu nggak bilang apa, kalau dia mau menunggu anak ini lahir untuk buktikan kebenarannya." Dia sama sekali tidak memedulikan perasaan Sabrina yang kesal dengan keberadaannya. "Selagi aku menunggu, kenapa aku nggak tinggal di sini?"

Sebelah alisnya terangkat naik. Tidak peduli dipandang sebagai wanita murahan ataupun perebut suami orang, dia tetap percaya diri untuk menghuni rumah itu. Bahkan, rasanya bisa dengan mudah mengusir Sabrina dengan kondisinya yang hamil saat ini. Bisa dianggap kehamilan ini jauh lebih berguna daripada keberadaan Sabrina yang tidak menguntungkan sama sekali itu

"Rumah ini punya kamar yang banyak. Ini terlalu luas untuk kamu yang biasa hidup di rumah sempit, kan?" sindir Jeni.

Sabrina menghela napas. Sudah cukup selama ini dia bersikap sabar pada Jeny dan juga Kai. Suaminya telah bersujud meminta maaf, dia maafkan. Tapi,  Jenny yang bersikap seperti ini tidak mungkin lagi dia bisa bersabar.

Sabrina menegaskan, "Itu urusan kamu dengan dia dan aku di sini sebagai nyonya rumah, nggak izinin kamu untuk masuk." Sebagai Nyonya rumah dia punya hak untuk menyuruh Jenny angkat kaki dari rumah ini, sebelum kesabarannya habis.

Sayangnya, Jenny punya respon yang berbeda. Dia tahu hubungan persaudaraan antara dirinya dengan Sabrina hanyalah saudara angkat, bukan kandung. Tidak masalah kalau mereka saling menyakiti. Bahkan, Jenny bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali perhatian Kai.

Dulu tinggal satu langkah lagi dia bisa mendapatkannya, tiba-tiba Kai menikah dengan Sabrina. Jadi, sebenarnya yang disebut perusak kebahagiaan orang adalah Sabrina, bukan Jenny. Di sini perempuan itu datang kembali untuk mengambil miliknya yang dulu pernah hilang.

"Ini bukan rumah kamu doang, kan?" Jeny semakin berani menantang.

"Jeny, kamu tahu orang akan ada batasnya untuk memaklumi kamu!" Sabrina sudah berencana untuk menarik paksa perempuan itu keluar. Tidak akan dia biarkan perempuan yang telah merusak rumah tangganya bersenang-senang di dalam rumahnya. Apalagi sampai merasa nyaman untuk tinggal di sini.

Kemarahan Sabrina sama sekali tidak digubris oleh Jenny. Perempuan itu duduk dengan anggun, matanya menatap tajam pada istri sah Kai tersebut.

"Aku nggak butuh dimaklumi. Kalau nggak suka, kamu aja yang pergi," tantangnya membuat Sabrina menganga.

"Selagi aku bisa bilang baik-baik, kamu tolong pergi dari sini!"

"Coba aja kamu usir aku kalau bisa."  Mau lihat Jeni sampai mana Sabrina akan berani betindak.

"Sabrina ... Sabrina." Setelah cukup lama mendapati respon dari saudara angkatnya itu yang hanya bisa mematung, Jenny menggelengkan kepala. Senyum terukir di bibirnya menandakan sebuah ejekan yang besar pada Sabrina.

"Kamu baru dapat pembelaan kecil dari Kai sudah besar kepala, ya. Awas loh, nanti kalau suami kamu sudah ingat gimana dia ngejar aku dulu, bisa-bisa kamu ditinggal lagi."

Jika harus mengakui kalau mencintai Kai, iya benar Sabrina memang mencintai laki-laki itu. Dan, dia tidak rela ada perempuan yang bersikap seperti ini di depannya untuk merusak rumah tangga mereka yang mulai dibangun kembali dari nol.

"Jeny, keluar!" Bukan cuma dengan kata-kata, tapi juga telah menggunakan tangannya menyuruh Jenny pergi.

"Aku nggak mau keluar!" Urat malunya telah putus.

Dalam perdebatan mereka Kai buru-buru pulang. Dia dapat kabar Ini dari asisten pribadi di rumahnya yang memberitahukan kalau ada Jenny datang ke rumah. Perempuan itu ternyata selain semakin berani juga tidak peduli tentang masalah apa yang kan ditimbulkan setelah tindakannya ini.

Melihat suaminya datang, Sabrina merasa dia harus menghemat tenaga untuk tidak berdebat di sini. Perempuan itu meninggalkan mereka naik ke atas menuju kamarnya.

Kai melihat Sabrina pergi. Dia takut kalau perasaan istrinya terluka karena keberadaan Jeny. Pria itu bersumpah demi Tuhan kalau ini di luar kuasanya.

Masih bingung harus melakukan apa, Kai lebih memilih untuk menyusul istrinya. Biar mereka bicara dulu baru nanti bisa mengambil keputusan yang tepat.

"Sab--"

"Aku nggak mau ngomong soal kalian, terserah gimana. Yang jelas, kalau Jeni ada di rumah ini, aku pergi." Sabrina mengusap air matanya. Kai bisa paham bagaimana kesedihan dan kekecewaan istrinya karena didatangi oleh Jeny.

Kai berusaha menenangkan Sabrina. Ini memang menyakitkan, tapi dia janji akan menyelesaikannya.

"Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan biarin dia di sini." Dipeluknya Sabrina sebentar. "Percaya denganku." Kemudian, Kai  pergi keluar untuk menemui Jenny.

Saat ditemui, Jenny sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Dia malah berpikir kalau keputusannya untuk datang ke sini sudah tepat. Dengan demikian, Kai bisa tahu bagaimana pertumbuhan bayi dalam kandungannya, sampai nanti dia lahir.

"Sebelum aku aku kasar, lebih baik kamu pergi."

"Sebelum, kamu bilang?" Bukankah Kai bilang kalau akan memberi kesempatan sampai anak ini lahir. Kalau begitu, kenapa dia tidak berlaku sebagai  ayah yang baik bagi calon bayinya? "Ini kamu udah kasar banget denganku, loh."

"Kamu main-main dengan kesabaranku, Jen."

Jenny menolak jika Kai beranggap demikian. "Aku begini karena tahu kalau kamu masih sayang denganku."

"Itu semua omong kosong." Bagi Kai dia bersikap baik karena masih menghargai Hanggono sebagai kakek Sabrina sekaligus Jenny, meskipun hubungan mereka bukan kandung.

Jenny malah mengerutkan alis. Bukankah sejak kemarin kesabaran laki-laki itu sudah habis, tapi buktinya dia masih ragu untuk mengambil sikap. Ini menunjukkan kalau sebenarnya Kai juga masih punya sedikit rasa sayang pada Jenny walaupun sudah terkikis karena Sabrina.

Tidak peduli dengan ejekan Kai, Jenny berkata, "Kalau istri kamu itu ngotot buat ngusir aku, mending dia yang pergi dari sini."

Please, tinggalin komen dong 🧐
















Sabrina dan KaiWhere stories live. Discover now