"Aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Gumaman rendah yang sayangnya tidak bisa Reane dengar dengan jelas, langsung di gantikan nafas teratur.
"Kenapa tadi kamu sangat aneh?" gumam Reane dengan pelan.
Mencoba melepaskan diri dari pria itu, Reane langsung menyerah karena pegangannya sangat kuat. Dia terdiam dan memandang langit lewat jendela yang setengah terbuka. Pikirannya melayang.
"Apa itu diri kamu yang sebenarnya?"
Reane benar-benar kurang tahu semua tentang Ray di dalam novel. Kisahnya yang terlalu singkat di dalam novel itu, membuat Reane harus mencari tahu semua tentang Ray ke depannya. Penyakitnya, keluarganya, dan .. semua orang yang ada di rumah ini. Atau bahkan Grehen sekali pun.
"Haa.. " Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. Menunduk dan menatap lagi wajah Ray dari atas, tangan Reane perlahan terulur menyentuh pipi pria itu dengan lembut dan hati-hati.
Tiba-tiba ia iri dengan kulit wajahnya yang sangat mulus, hidungnya yang mancung. Saat matanya turun ke bibir, Reane langsung mengalihkan pandangan dengan semburat merah di pipinya.
"Uh, apa yang aku pikirkan?" Matanya mengerjap malu oleh diri sendiri. Melihat langit-langit yang gelap, Reane berkata lesu. "Sepertinya aku harus tidur di sini lagi."
***
"Selamat Pagi, Nyonya."
Reane mengangguk sembari menyesap tehnya. Dia menoleh sekilas dan berkata. "Duduk."
Emi menatap keraguan bangku kosong yang berhadapan dengan Reane. Ekspresinya sangat tidak enak dan sungkan.
"Tidak apa-apa. Duduk saja. Anggap aku temanmu, bukan majikanmu."
Akhirnya Emi duduk di bawah desakannya. Reane mendorong segelas teh yang masih utuh. "Minum."
Mata Emi melebar.
Reane berdecak. "Minum saja dengan santai. Aku tidak suka mengulang kembali apa yang aku katakan."
Emi merasa sangat gugup. Baru kali ini dia melihat sisi Reane yang berbeda. Dua hari ini tentu saja Emi tidak melewatkan perubahannya, namun sikapnya saat ini sangat kentara. Apakah sikap nyonyanya memang seperti ini aslinya?
Yang Emi tidak tahu, Reane saat ini sekuat tenaga berusaha mempertahankan sikapnya itu. Kecemasan di hatinya ia tahan. Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat gelas untuk ia minum. Untung saja, Emi menunduk sama-sama takut.
"Apa yang Rey lakukan setelah sarapan?"
"E-um.. Tuan Muda hanya diam di kamarnya, Ny-onya ..."
Pagi tadi, Reane bangun lebih dulu, dan ia langsung pergi ke kamarnya di saat Ray masih tertidur nyenyak. Lalu, pada saat sarapan, Ray sudah berada di meja makan, dan sikapnya kembali seperti semula, seolah-olah sikap Ray semalam tidak pernah terjadi, hanya ilusi.
Reane mengangguk ringan. Pandangannya menyapu hamparan rumput hijau dan pepohonan yang tertanam di setiap gerbang pembatas. Keduanya tengah duduk di belakang rumah, dan di sana ternyata tempat yang sepi, luas, dan damai.
Angin pagi yang dingin sesekali menyentuh rambutnya dengan lembut. Reane menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam memenuhi paru-parunya. Sejuk dan segar. Ini sungguh nikmat yang sangat harus ia syukuri. Kehidupannya sebelumnya, yang di mana ia selalu sesak bernafas seolah dadanya terhimpit. Selalu mengingat itu, sehingga Reane berjanji pada dirinya sendiri membuat kehidupan tubuh ini lebih baik.
"... Nyonya?" Emi memanggil pelan karena Reane terdiam lama dan tidak membuka suara lagi. Ia cemas.
Reane membuka mata dengan senyum tipis di wajahnya. Tiba-tiba ia berkata. "Emi, aku bersyukur Tuhan masih memberikanku umur, menghirup oksigen dengan hidungku, melihat pemandangan indah dengan mataku, berjalan dengan kedua kakiku, dan melakukan semua hal dengan kedua tanganku."
YOU ARE READING
Dependency ✓ [Sudah Terbit]
Romance17 tahun Leane hidup di ranjang rumah sakit tanpa mengenal dunia luar. Setiap hari, ia hanya tahu rasa sakit karena keadaan tubuhnya yang lemah. Pada akhirnya, ia mati dengan damai tanpa pernah merasakan apa itu kebahagiaan. Bangun di tubuh dan temp...
9. Dependency 🌷
Start from the beginning
![Dependency ✓ [Sudah Terbit]](https://img.wattpad.com/cover/315356737-64-k470748.jpg)