“Kenapa beliau pergi ke sana?” Minjeong masih menyebut Jaehyun dengan ‘beliau’ atas dasar kesopanan.

“Jaehyun pernah tinggal di sana,” ujar Jaemin. “Selain itu dia juga punya proyek penelitian dengan salah satu profesornya; pria itu sangat antusias kalau sudah membahas hal-hal rumit seperti itu.”

“Lalu masalahnya apa?”

“Minjeong sayang,” ucapnya dengan suara rendah, “dia sama sekali tidak menghubungiku. Bagaimana bisa Jaehyun melakukan itu pada keponakan tersayangnya? Meskipun singkat, tapi biasanya dia akan selalu menjawab. Selain itu, sebelum pergi, dia baru memberitahukan sebuah rencana besar padaku. Kau mau dengar? Tapi jangan bilang pada siapapun; apalagi pada kakek dan nenekku.”

“Aku bahkan tak kenal mereka,” desis Minjeong tipis. Dia agak lelah dengan sikap aneh Jaemin. Tapi, meskipun pemuda ini sangat aneh, gadis ini tetap memilih untuk tinggal dan mendengarkan keluh kesah di anak kaya. Bahkan saat ini Minjeong sudah duduk di samping Jaemin, memasang telinga dan fokus sebaik mungkin. “Baiklah, ceritakan semuanya padaku. Demi Tuhan aku tak akan pernah membocorkannya.”

“Baik, aku percaya padamu.” Jaemin mengangguk sementara ekspresinya menjadi semakin serius. Tubuhnya sedikit condong ke samping, tangannya diletakkan di samping muka, menghalau kata yang mungkin bocor dan terdengar secara tak sengaja.

Bola mata Minjeong membulat bersamaan dengan kalimat terakhir yang Jaemin ucapkan. Pemuda itu masih menggantungkan tangan, menunggu respon dari si gadis idaman dengan harap-harap cemas.
“Kau bercanda?!” Minjeong menahan pekikan yang hampir lolos dari mulutnya.

“Memangnya kapan aku bercanda padamu?” respon Jaemin serius.

“Baik, kurasa ini memang benar, tapi orang sehebat pamanmu?”

Saat ini ekspresi Minjeong bicara lebih jelas daripada seluruh rangkaian kalimat yang meluncur dengan bibir kaku. Gadis itu kesulitan menyuarakan pikiran yang mendadak jadi sangat rumit. Ujung jari-jemarinya mengetuk-ngetuk meja, seolah menjadi sarana paling mujarab untuk menyalurkan semua keterkejutan dalam benaknya yang riuh.

Minjeong bahkan sampai mengulangi, “Kupikir beliau suka perempuan cerdas.”

“Apa maksudmu? ‘Mantan’ tunangannya itu juga cerdas. Dia bahkan lulus dari Korean University dengan GPA 3.5. Menurutku itu angka yang tinggi. Apalagi kalau kita mengingat betapa kompetitifnya pada murid di sana. Aku bahkan tidak akan bisa diterima di universitas itu. Jaehyun sialan, dia mengambil seluruh jatah kepintaranku.” Jaemin menggerutu dengan cara yang agak lucu. Kening berkerut dengan bibir mengerucut secara tak langsung justru menjadi alasan sederhana yang membuat senyum Minjeong tergores samar. Andai Jaemin cukup peka, dia mungkin bakal bisa menangkap senyum manis yang hanya berlangsung selama sepersekian detik tersebut.

“Pamanmu, apa dia benar-benar mencintai tunangannya?” celetuk Minjeong sambil meletakkan pipi di atas meja. Tatapannya tertambat di antara sepasang manik Jaemin yang gemerlapan seperti permata. Sontak hal itu sempat membuatnya goyah sebelum kembali mengangkat wajah dan melanjutkan, “Kurasa aku terlalu ikut campur.”

“Kau memang harus ikut campur. Walau bagaimanapun, kau ini kan calon istriku,” sahut Jaemin tanpa beban.

“Hei, aku punya satu pertanyaan untukmu,” kali ini suara Minjeong kedengaran lebih serius. Bahkan air mukanya juga menjadi lebih padat dan terkumpul dalam satu titik fokus yang dalam.

Ekor mata Jaemin bergerak ke samping. Kedua tangannya masih diletakkan di belakang untuk menopang kepala saat jawabannya keluar nyaris tanpa jeda. “Apa?”

Tapi sebelum Minjeong dapat bicara, bel masuk sudah berbunyi, secara perlahan membawa siswa-siswi lain memasuki kelas dalam gerombolan kecil. Gadis itu sontak berdiri, kembali ke mejanya tanpa meninggalkan sepatah katapun untuk Jaemin yang mulai merasa penasaran. Pemuda itu bahkan bangkit—hanya mengamati gadis itu dari kursinya karena tidak mau menciptakan lebih banyak rumor yang dapat membuat Minjeong tidak nyaman. Secara perlahan dia kembali duduk, menyimpan sejenak rasa penasaran akan pertanyaan yang hendak MInjeong ajukan. Di dalam kepalanya tumpukan spekulasi mulai berputar; meskipun hanya berlangsung selama beberapa jam karena setelah bel lainnya berdering, pikirannya kembali tertambat pada Jaehyun beserta beberapa pertanyaan yang mengekor di belakang.

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now