Chapter Four

1.2K 202 44
                                    

Heya, bertemu lagi kita. Ehehehe

Semoga hari kalian menyenangkan supaya bisa menghadapi Profesor kesayangan dengan hati lapang. Selamat membaca 😁😁😁



“We’ll be remembered more for what we destroy than what we create.”
—Chuck Palahniuk—

Ada satu hal penting yang lupa Jaehyun sampaikan pada Rose hari itu. Fakta bahwa dia adalah supervisor skripsinya baru diberitahukan sehari setelahnya oleh sang manajer—membuat perempuan itu kesal setengah mati karena dia tidak bisa mengubah regulasi. Sebaliknya, Jaehyun justru menganggap kesempatan ini sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan. Alasannya sederhana, sebab si penyanyi terkenal ini bisa menjadi pintar dan bodoh pada waktu bersamaan. Ia tidak  mau melewatkan kesempatan membimbing jenis murid seperti ini.

Bahkan sebulan yang ia habiskan sebagai supervisor Rose hingga saat ini—tanpa sungkan—dianggapnya sebagai momen paling baik selama menjadi dosen di Negeri Ginseng. Perempuan itu secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Jaehyun; menjadikan waktu bersama si jenius usil itu sebagai satu-satunya interaksi yang tidak dibuat-buat. Itu tak seperti Jaehyun akan mengatakan pada seluruh dunia bahwa Park Rose aslinya mempunyai sifat ambekan dan tidak sabaran, ia akan membiarkan hal itu tetap pada tempatnya. Seorang selebritis kelas dunia juga butuh istirahat; dan dia menyukai sisi yang terlihat sangat manusiawi itu.

“Kau baca No Longer Human lagi?” suara lelaki yang kedengaran sangat muda dan segar itu menghantam telinga Jaehyun tanpa permisi. Si pemilik suara bergegas memasuki ruang baca—meninggalkan sepatu yang tidak dirapihkan begitu saja.

Itu Jaemin, keponakannya memang selalu seperti itu

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Itu Jaemin, keponakannya memang selalu seperti itu. Dia manja, tidak terorganisir, dan agak terlalu bebas. Bahkan sekarang Jaemin nyaris tidak menganggapnya sebagai seorang paman; jarak usia yang hanya terpaut sepuluh tahun membuat lelaki itu selalu bersikap sangat leluasa ketika berada di sekitar Jaehyun.

“Apa serunya buku itu?” tanya Jaemin sembari mendudukan diri di sofa yang lebih panjang—segera memainkan ponsel sambil memakan sebungkus cemilan.

“Kenapa kau datang lagi ke rumahku?” Jaehyun bertanya sambil menutup buku—sebenarnya itu bukan No Longer Human, tapi judul lain oleh penulis yang sepenuhnya berbeda.

Dari sofa tempatnya berbaring, Jaemin memandang pamannya sekilas. Untuk beberapa alasan, saat ini Jaehyun benar-benar terlihat seperti pemeran utama dalam manhwa. Apalagi di bawah sorot sinar matahari seperti itu. “Mulai sekarang aku tinggal di sini.”

“Tidak mau,” tolak Jaehyun cepat.

“Kenapa?! Aku ini kan satu-satunya keponakanmu!” raung Jaemin keras. Dia bahkan sampai meletakkan ponselnya meski hanya sebentar.

The Poem We Cannot ReadМесто, где живут истории. Откройте их для себя