Chapter Eleven

1.3K 216 37
                                    

I try to publish at least one chapter a week, hopefully you guys will stay with me for a long time 💖💖💖💖

❄️
❄️
❄️

“People are drawn deeper into tragedy not by their defects but by their virtues.”
—Haruki Murakami—

Satu kalimat singkat dan dadakan yang Rose ajukan pagi ini sukses membuat Baekhyun kelimpungan. Sekonyong-konyong pria itu bangun dan langsung melesat pergi ke rumah si bintang muda tanpa pikir panjang sama sekali. Kesadarannya sangat utuh, selalu seperti itu tiap kali Rose mengatakan, ‘Aku dalam bahaya, butuh bantuan secepatnya,’ dan itu kadang hanya untuk masalah yang sangat sepele. Baekhyun tetap tidak mau menduga-duga, tidak mau berprasangka dengan berpikir jika Rose hanya sedang melebih-lebihkan. Meskipun pada akhirnya situasi yang sama selalu terulang—Baekhyun hanya akan dibuat tercengang dengan betapa tipisnya urgensi yang sedang Rose gelutkan.

Tatapan perempuan itu terfokus ke kotak-kotak lemari yang dipenuhi berbagai jenis pakaian. Sebagian isinya sudah dikeluarkan—dibiarkan tergeletak di atas lantai walking closet secara nahas. Masih dalam posisi berdiri dan mengenakan bathrobe ia menarik napas dalam. “Aku tidak punya baju untuk dipakai.”

Hampir tanpa basa-basi Baekhyun menyahut, “Kau mau mengajak ribut?”

“Tidak ada baju yang bisa kupakai untuk menemui Profesor Jung hari ini. Semuanya tampak membosankan. Aku sudah memakainya beberapa kali.” Rose menyahut tanpa beban, seolah segala macam reaksi dan ekspresi yang terlukis di wajah Baekhyun bukan bagian dari dunia yang sedang melingkupi saat ini.

“Paling sering kau hanya memakai baju sebanyak enam kali dalam satu tahun! Kau sudah gila ya?!”
Baekhyun memekik tak percaya. Ia mengacak rambutnya, menyalurkan seluruh perasaan frustasi dan kesal yang bercampur-aduk akibat ulah perempuan muda di depannya. Fakta bahwa Rose sama sekali tak terlihat menyesal mungkin jadi faktor utama yang membuatnya sedemikian kesal. Atau mungkin tidak, Baekhyun perlu meralatnya, sebab hal paling utama yang membuat dirinya kesal adalah absennya perasaan jengkel dan marah yang sifatnya murni, ia tidak pernah merasakan hal semacam itu pada Rose. Memanjakan perempuan itu layaknya adik—bahkan mungkin anak—sendiri sudah jadi kebiasaan yang mendarah daging.

“Kak, aku benar-benar sangat gugup,” ucap Rose sambil berbalik. Tatapan lembutnya diwarnai sepercik kegugupan, kalang kabut bersama keinginan untuk terlihat sempurna di hadapan seseorang yang kemungkinan besar bahkan tidak akan peduli.

“Kau hanya akan menemui profesormu! Kenapa harus mati-matian mengimpresinya seperti ini? Bahkan dia mungkin tidak akan peduli! Dia hanya ingin membahas skripsimu yang biar kutebak pasti sangat buruk dan sulit diselamatkan!” Baekhyun meraung kesal—meski tetap menghampiri dan membantu mencarikan baju paling sesuai dan memang Rose inginkan. “Kalau yang ini bagaimana? Cuacanya semakin panas, ini sudah bulan Mei, kau bisa memakai yang ini. Selain itu kuning juga warna yang cantik untukmu.”

Rose menggeleng lemah, “Ini terlalu cerah, orang-orang mungkin mengenaliku.”

“Ayolah, ini bukan semacam kencan dengan kekasih atau apapun lah itu yang bisa membuat salah paham. Kalau ada rumor aneh, kita bisa langsung mengklarifikasinya, atau biarkan saja sampai publik lupa.”

Saran yang Baekhyun berikan memang cukup masuk akal, tapi untuk alasan yang sifatnya sangat personal, Rose tidak mau menerimanya. Ini bukan masalah rumor, tapi lebih kepada ‘citra’ yang harus dia jaga dan tampilkan di depan Jaehyun. Oleh sebab itu ia menjadi sangat ragu, begitu plin-plan dengan seleranya sendiri.

The Poem We Cannot ReadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang