Tiba Saatnya (1)

69.9K 1.8K 48
                                    


"Mama memintaku menikahi Sinta" Dean membuka suara sembari memperhatikan Maura yang hampir menyelesaikan cucian piringnya, mereka baru saja menyelesaikan makan malam.

Makan malam bersama setelah beberapa waktu belakangan ini pria itu selalu pulang terlambat, atau bahkan pulang keesokan paginya.

Maura yang mendengar itu terpaku dan terhenti dari gerakannya mencuci gelas terakhir, rasa sesak itu langsung menghampirinya.

Akhirnya ia sampai juga pada waktu ini. Waktu yang paling ia takutkan, waktu dimana ia harus merelakan kebahagiaan suaminya, mungkin.

"Bagaimana keputusan mas?" Maura akhirnya bersuara setelah beberapa lama terdiam.

Ia mencoba menahan suaranya agar tidak terdengan bergetar dan serak, meski dalam hati ia sudah merasakan perih. Cuciannya ia selesaikan sembari menunggu jawaban Dean dengan jantung bertalu keras.

"Sinta tidak punya siapa-siapa lagi, dia dalam kondisi sangat membutuhkan pendamping, wali"
Itu berarti iya kan?, Dean setuju untuk menikahi Sinta. Maura memegang pinggir kloset dengan erat, mencoba memapah tubuhnya sendiri.

Wanita itu sekuat tenaga menahan air matanya yang sudah ingin terjun bebas, tidak ingin terlihat menyedihkan didepan pria itu, setidaknya untuk saat ini.

"Kalau begitu aku akan mulai mengurus suratnya besok, aku harap mas mau bersabar sampai urusan kita selesai" Maura benar-benar memuji dirinya sendiri yang mampu mengucapkan itu dengan berusaha sebiasa mungkin, seolah-olah yang ia katakan adalah hal ringan yang biasa mereka bahas.

"Apa maksud kamu?" Suara pria itu mulai terdengan emosi. Ia tahu, meski tidak menatap langsung tapi Dean kini sedang menatapnya tajam.

"Perceraian kita, senggaknya mas bisa bersabar sampai saat itu tiba, gak akan lama kok" Maura masih berucap dengan nada biasa, membuat pria diseberang sana makin berang.

"Sialan Maura, kamu pikir pernikahan kita main-main?!" Dean bangkit dari kursinya dengan kasar, rahangnya mengeras, pertanda pria itu benar-benar marah.

Sementara Maura meringis dalam hati. Main-main?, apakah ada dari sikapnya yang selama ini menunjukkan bahwa ia menganggap pernikahan ini main-main.

Ia bahkan menaruh seluruh hati dan harapannya untuk masa depan rumah tangga mereka, tapi sepertinya Dean tidak mengerti itu. Ya, Dean memang tidak pernah mau mengerti dirinya.

"Bangunlah rumah tangga yang bahagia dengan Sinta. Untuk masalah Mira, biar pengadilan nanti yang akan memutuskan hak asuhnya" Maura terus melanjutkan keinginannya tanpa menanggapi ucapan Dean sebelumnya.

"Persetan Maura, tidak akan ada perceraian diantara kita!" Setelah mengucapkan itu, Dean beranjak dari tempatnya dengan emosi meluap.

Sialan, pria itu merasa Maura benar-benar berniat mengujinya kali ini.

Setelah mendengar suara mobil keluar, pertahanan diri Maura akhirnya runtuh. Tubuhnya yang memang sudah lemas langsung terduduk dilantai. Air matanya begitu deras, namun belum cukup mengurangi sesak dan sakit didadanya.
5 tahun rumah tangganya berjalan dan kini sepertinya harus kandas. 5 tahun bukan waktu sebentar, dan selama itu Maura berusaha dengan sangat keras menjadi sosok istri bagi Dean, bagi rumah tangganya.

Selama ini Dean memang mungkin tidak mencintainya, atau belum juga mencintainya. Tapi Maura, dirinya sejak awal memang sudah mencintai pria itu.

Bahkan hal yang paling disyukuri oleh Maura adalah perjodohan mereka. Berkat itu, ia merasa bisa dipertemukan dan dipersatukan dengan Dean.

Tapi entah untuk sekarang, masihkan ia bisa merasa bersyukur setelah apa yang suaminya ucapkan tadi?.

Dean bersungguh-sungguh menjalani rumah tangga ini bersamanya. Dibuktikan dengan kejujuran pria itu sedari awal. Pria itu dengan jujur menceritakan semua masa lalunya, juga tentang perasaannya yang masih terpaut pada seseorang.

My Short StoryWhere stories live. Discover now