15. Trauma?

4K 205 6
                                    

Sudah 3 hari berturut turut Bima menjadi siswa SMA Neosantara dan hari ini adalah hari Kamis hari yang paling Bima suka karena ada mata pelajaran olahraga.

Sejak kecil Bima sangat suka dengan sesuatu yang berbau kebugaran jasmani. Bahkan saking minat dan sukannya dengan kebugaran jasmani atau olahraga, dia pernah mewakili ajang perlombaan tingkat provinsi dan hasilnya tidak kaleng-kaleng, dia menjadi juara pertama dan berhasil menjunjung tinggi namanya, keluarganya dan sekolahnya, dulu saat SMP kelas 8.

"Baik anak-anak sebalum kita memulai pembelajaran alangkah baiknya kita berdoa, berdoa dimulai!"

Menundukkan kepala adalah hal yang di lakukan mereka, lebih tepatnya siswa siswi kelas 10 IPA 1, kelas Bima. Mereka berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa usai dan mereka kembali berdiri tegak.

"Untuk pemanasan nya, lari keliling lapangan voli ini sebayak 3 kali saja. Yok yok dimulai!"

Mereka langsung berlari tak lain dengan Bima. Matahari yang sudah setombank bersinar sangat terang membuat mereka mulai meneteskan keringatnya. Mulai dari pelipis leher hingga punggung. Belum di mulai saja seragam olahraga mereka sudah basah karena keringat.

Pemanasan usai mereka lantas kembali ke barisan masing-masing dengan nafas tersengal-sengal. Reflek membungkukkan badannya bertumpu dengan lutut bahkan ada juga yang langsung duduk selonjoran atau kaki di luruskan. Tak lain dengan Bima.

"Kembali berkumpul, pengambilan nilai voli langsung di mulai, dari Abraham Lincoln"

"Guru sialan," batin Abraham.

🐄

"Bunda, bolehkan aku ajak adek ke pasar ikan?"

Hari sudah sore, biasanya Caca akan memasak untuk makan malam tapi untuk kegiatan itu harus tergantikan, menjadi ibunya yang bertempur alat dapur untuk menyiapkan makan malam.

Caca yang hendak mencuci beras, menatap kearah sumber suara. Bima dan Pitan yang berdiri di ambang pintu dapur menatapnya dengan penuh permohonan.

"Mau beli apa ke pasar ikan? Udah sore lho kak?"

"Beli ikan lah bunda, masa beli beras," sambar Pitan berjalan mendekati Caca. Tangan kecilnya memegang ujung kaos oblong yang ia pakai, menatapnya dengan penuh permohonan.

"Aku mau beli ikan beta bunda, kayak punya Umar, warnanya merah bagus lho. Boleh kan?"

Mata yang penuh binar membuat Caca sulit untuk menolaknya, ia mengangguk kecil. Sebelah tangannya mengelus puncak kepala Pitan dengan sayang.

"Boleh, tapi sebelum magrib udah pulang ya!" Pitan mengangguk antusias. Ia berlari kecil mendekati Bima dan langsung menggandeng tangan Bima.

"Minta tolong Pak Munir, buat antar ya kak, kalau naik angkutan umum jangan dulu, sore-sore biasanya penuh orang pekerja pulang dari kerja ataupun sekolah, pasti rame!"

Itu perintah Caca sebelum Bima dan Pitan hilang di balik pintu.

"Kayaknya, kamu sayang banget sama dua anak duda itu, ca?" Sumi tiba-tiba berdiri di dekat Caca di tangannya menenteng satu baskom berisi potongan kembang kol. Matanya menatap ambang pintu yang tadi untuk berdiri Pitan dan Bima.

"Gimana aku enggak sayang sama mereka Bu, kalau aku adalah ibu sambung mereka"

"Kenapa kamu mau jadi ibu sambung mereka? Lantas ibu kandung mereka ada di mana?"

Ibu kandung mereka? Ah atau pertanyaan itu lebih mengarah ke, kemana ibu kandung Pitan?

Caca diam. Bukan berarti dia sedang memikirkan jawaban, melainkan dia pun tidak tau.

Mas Duda (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang