5. Rumah terakhir

8.2K 389 0
                                    

Tangisan pilu yang menyayat hati terdalam. Raungan serta perkataan yang membuat orang mendengar merasakan kepedihan. Seperti luka yang disiram air garam

"Ibu..hiks..ibu"

Hanya perkataan itulah yang mampu keluar dari mulut sosok pria 16 tahun itu.

Tubuh wanita paruh baya yang terbujur kaku di depannya tertutupi kain kafan serta orang-orang terdekat yang duduk melingkar dan membawa kitab suci setelah usai membacakan ayat-ayat suci.

"Le, Bima yang tabah ya, ibu sudah tenang disana bersama bapak. Hapus air matamu! Mari kita antar ibu ke rumahnya yang terakhir"

"Enggak...enggak ibu jangan!" Bima menggeleng brutal saat Ibu Marrti mengatakan itu. Dia masih mau beralma lama bersama ibunya. Ibunya belum mati titik.

"Hey Bima, kamu jangan seperti ini. Ibu akan sedih kalau kamu gini. Ibu sama bapak akan susah untuk meninggalkan kamu. Kamu mau bapak dan ibumu sudah disana?" Bima menggeleng.

"Makanya ikhlasin ibumu, dan buat ibu dan bapak bahagia disana dengan kamu mendoakannya, setiap habis sholat."

Ajaibnya Bima langsung menghapus air matanya dan langsung memeluk seorang yang baru saja menasehatinya, menyadarkannya.

"Makasih...hik..Mbak Caca!" Kata Bima masih saja sesenggukan.

"Sama-sama kita bersama nganterin ibu ya!"

Bima mengangguk. Ia berdiri di bantu oleh Caca. Bersamaan dengan itu keranda, Bi Dilah di angkat oleh warga sekitar. Bahkan Froza pun ikut adil kedalam situ.

Pitan? Ia berdiri di damping Bima. Matanya mengerjap pelan menatap Bima yang masih saja sesenggukan.

"Kak Bima, jangan nangis dong! Masa udah gede masih nangis!"

Bima menatap Pitan yang berdiri di sebelahnya, ia mensejajarkan tinginya dengan Pitan.

"Kata siapa? Kakak cuma membuang air mata aja, kasian kantung matanya keberatan bawa air mataku, kan berat!"

"Ih alasan macam apa itu? Jangan nangis lagi ya, nanti Pitan kasih sapi satu deh!"

Caca dan Bima dibuat terkekeh dengan perkataan bocah 5 tahun itu, bisa saja membuat suasana sedikit mencair. Padahal kesannya garing.

"Nak, mari," perkatan pak rt setempat berhasil membuat tubuh Bima tegang sejenak, lalu rileks dengan sendirinya.

"Bima ayo, jangan nangis lagi," kata Caca membantu Bima berdiri dan berjalan di belakang keranda yang isinya ibunya. Pitan, bocah itu berjalan di sebelah Bima, bahkan tangan kecilnya menggandeng tangan lemah Bima.

"Kak Bima senyum dong, sini Pitan ajarin!" Mulut kecil Pitan tertarik keatas membentuk senyum manis hingga kedua matanya tertutup tercipta bukan sabit. Bima bahkan ikut tersenyum walaupun tipis.

Bocah kecil ini belum paham dengan apa yang sedang Bima alami. Kematian. Adalah salah satu yang Bima benci setelah capung.

Terlalu larut dalam pikirannya, Bima sampai tidak sadar habwa kakinya sudah menapaki rumah peristirahatan terakhir ibunya, di samping rumah ayahnya.

Bima memandang sendu jasat ibunya yang sedang di kebumikan. Tanpa disadari air matanya hampir menetes tapi ia halau dengan memandang langit hitam yang berada di atasnya.

Langit pun tau apa yang sedang ia alami. Menghitam, suram sama seperti perasaannya sekarang. Matanya kembali menatap gundukan tanah di depannya yang baru saja selesai di timbun.

Doa-doa pendek mulai dilafalkan oleh pak rt yang juga selaku juru kunci kuburan setempat. Tangan Bima terangkat sebatas dada, mengamini doa doa itu.

"Yang tabah le." Itu adalah kata terkahir warga sekitar sebelum mereka meninggalkan gundukan tanah yang masih basah itu.

Mas Duda (SELESAI)Место, где живут истории. Откройте их для себя